pengolahan bahan bahan di pabrik yang besar digunakan teknologi

Inicetakan diproduksi dalam jumlah yang sangat besar dari sekitar 1.425 seterusnya. Sekitar pertengahan abad ke-, blok-buku, buku ukiran kayu dengan teks dan gambar, biasanya diukir di blok yang sama, muncul sebagai alternatif yang lebih murah untuk naskah dan buku dicetak dengan movable type. hanbaku bagi industri besi baja. Di samping itu, belum adanya pabrik pengolahan bijih besi yang merupakan bahan dasar dalam industri besi baja, memberikan prospek yang cukup baik, dan pasar dalam negeri yang selama ini dipenuhi dari impor tersebut akan secara otomatis terbuka. Tingginya ketergantungan Indonesia terhadap ba- PengolahanGarut. Selasa, 13 Sep 2011. Garut merupakan salah satu tanaman sumber karbohidrat alternatif, dimana garut bukan saja digunakan untuk pangan, tetapi juga untuk bahan baku industri. Garut sebagai Bahan Makanan umbi garut dapat direbus atau dikukus untuk makanan sampingan. Umbi garut rebus yang dipotong tipis-tipis dapat dijadikan Pabrikpercontohan yang terletak tepat di luar kota Shanghai itu, kini telah sukses menjalani masa ujicoba setelah diluncurkan pada September 2015. Sekarang pabrik percontohan ‘semi-komersial’, dengan ukuran 20 kali lebih besar, tengah memulai pembangunan sehingga tim bisa melihat apakah sistem mereka bekerja secara efektif ketika ditingkatkan. DaftarPerusahaan , Toko, Distributor, Importir, Eksportir, Supplier Bahan Kimia Pengolahan Halaman 1. untuk wilayah Jakarta. Lừa Đảo Vay Tiền Online. FRMahasiswa/Alumni Institut Teknologi Bandung15 Februari 2022 0955Hello Sandi S, Kak Fariz bantu jawab ya. Jawabannya adalah C. Modern. Pembahasan Teknologi modern merupakan jenis teknologi terbaru yang berasal dari sebuah bentuk kemajuan teknologi lama dengan melakukan berbagai tambahan dan modifikasi tertentu. Teknologi modern ini banyak dilakukan untuk memenuhi hampir semua kebutuhan sehari-hari manusia. Salah satu contoh penggunaannya adalah teknologi yang digunakan pada proses pengolahan bahan-bahan pabrik yang besar. Dengan demikian, pengolahan bahan-bahan pabrik yang besar digunakan teknologi modern A. Semoga membantu akses pembahasan gratismu habisDapatkan akses pembahasan sepuasnya tanpa batas dan bebas iklan! ArticlePDF Available Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. ASPEK TEKNOLOGI DAN EKONOMI PEMBANGUNAN PABRIK PENGOLAHAN BIJIH BESI MENJADI PRODUK BAJA DI INDONESIA Zulfiadi Zulhan Teknik Metalurgi – Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung E-mail Masuk tanggal 01-04-2013, revisi tanggal 02-07-2013, diterima untuk diterbitkan tanggal 17-07-2013 Intisari ASPEK TEKNOLOGI DAN EKONOMI PEMBANGUNAN PABRIK PENGOLAHAN BIJIH BESI MENJADI PRODUK BAJA DI INDONESIA. Pabrik baja yang beroperasi di Indonesia pada umumnya masih bergantung pada bahan baku dari luar, baik bijih besi maupun besi tua steel scrap. Pengolahan bijih besi dalam negeri menjadi produk besi spons diharapkan dapat mensubstitusi besi tua sebagai bahan baku pembuatan baja dengan teknologi berbasis EAF. Bijih besi Indonesia dikelompokkan menjadi tiga yaitu bijih besi primer hematit dan magnetit, bijih besi laterit dan pasir besi. Cadangan bijih besi Indonesia didominasi oleh bijih besi laterit, maka teknologi dan jalur proses yang sesuai untuk mengolah bijih besi laterit ini sebaiknya dikaji lebih dalam untuk mendapatkan proses yang optimum dan efisien serta produk baja yang mempunyai nilai jual tinggi. Harga gas alam di dalam negeri mempunyai kecenderungan untuk meningkat, oleh karenanya teknologi yang disarankan untuk mengolah bijih besi Indonesia adalah teknologi direct reduction berbasis batubara rotary kiln atau blast furnace untuk pabrik dengan kapasitas besar. Ketergantungan pada kokas coking coal merupakan kelemahan dari teknologi blast furnace. Perbandingan capex dan opex dari blast furnace dan rotary kiln diuraikan pada tulisan ini. Biaya produksi pembuatan baja menggunakan jalur proses rotary kiln – electric arc furnace dan blast furnace – basic oxygen furnace adalah hampir sama yaitu sekitar 500 USD/ton. Kata kunci Bijih besi, Blast furnace, Rotary kiln, Capex, Opex Abstract TECHNOLOGICAL AND ECONOMICAL ASPECTS OF THE INTALLATION OF IRON ORE PROCESSING PLANT TO PRODUCE STEEL IN INDONESIA. Raw material for steel production in Indonesia is still imported either in the form of iron ore or steel scrap. The utilization of domestic iron ore to produce sponge iron might substitute steel scrap as raw material for EAF-based steelmaking. Indonesian iron ore can be classified into primary iron ore hematite and magnetite, lateritic iron ore and iron sand. Lateritic iron ore is more dominant in Indonesia, therefore the suitable technology and process route shall be studied in order to obtain an optimum and efficient process as well as to produce high quality steel. The domestic price of natural gas tends to increase in the following years, therefore coal based direct reduction technology rotary kiln or blast furnace for high production capacity should be installed. The scarcity of domestic coking coal fo coke production is the limitation by the application of blast furnace technology. The comparison of capex and opex of blast furnace and rotary kiln iron making is described in this paper. The steel production cost using rotary kiln – electric arc furnace route or blast furnace – basic oxygen furnace route is nearly the same around 500 USD/ton. Key words Iron ore, Blast furnace, Rotary kiln, Capex, Opex PENDAHULUAN Baja sebagai produk dari pengolahan bijih besi masih merupakan material yang paling banyak digunakan di dunia. Pada tahun 2011, jumlah baja yang dihasilkan di dunia adalah 1,518 milyar ton[1], sedangkan produksi dari aluminium dan plastik polymer pada tahun yang sama adalah 58 ton dan 265 ton, secara berurutan. 106 Majalah Metalurgi, V ISSN 0216-3188/ hal 105-120 01002003004005006007008009001000110012001300140015001900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010Krisise konomi Akhir perang dunia ke IIAkhir perang dunia ke IAwal perangdinginPertumbuhan ekonomi dunia Steel Age IKrisisminyak IKrisisminyak IIAkhir dari konflik Timur - BaratKrisise konomi Krisise konomi Pertumbuhan ekonomi di ChinaSteel Age IIGambar 1. Perkembangan produksi baja di dunia dan di China[2-3] Produksi baja masih didominasi oleh China yang menghasilkan baja 683,3 juta ton dimana persentasenya mencapai 45% dari total produksi baja dunia[2]. Negara-negara lainnya yang termasuk 10 besar produksi baja dunia adalah Jepang 107,5 juta ton, USA 86,24 juta ton, India 72,2 juta ton, Rusia 68,7 juta ton, Korea Selatan 68,47 juta ton, Jerman 44,3 juta ton, Ukraina 35,3 juta ton, Brazil 35,16 juta ton dan Turki 34,1 juta ton. Perkembangan produksi baja dari tahun 1900-2011 di dunia dan di China diperlihatkan pada Gambar 1. Dari tahun 2000-2011 produksi baja di China menunjukkan pertumbuhan yang sangat signifikan dan dimulainya “era baja steel age tahap II”. Selain China, negara lain yang menunjukkan pertumbuhan industri besi baja yang baik adalah India seperti diperlihatkan pada Gambar 2a. Situasi produksi baja di kawasan Asia Tenggara ditunjukkan pada Gambar 2b dimana terlihat bahwa produksi baja di Indonesia dari tahun 2001 hingga 2010 berkisar di 3±1 juta ton, sementara di Vietnam produksi baja meningkat dari 0,32 juta ton pada tahun 2001 menjadi 4,14 juta ton pada tahun 2010. Gambar 3 memperlihatkan jumlah baja yang diproduksi, diimpor, diekspor serta kebutuhan baja Indonesia dari tahun 2001 hingga 2010. Persentase impor netto baja Indonesia adalah lebih dari 60% pada tahun 2010. Persentase impor baja Indonesia tentu saja bertambah pada tahun 2011 dan 2012 yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia yang baik. Produksi baja Indonesia akan meningkat sekitar 4-5 juta ton dengan beroperasinya pabrik baja terintegrasi oleh PT Krakatau POSCO pada akhir tahun 2013, selesainya pembangunan tanur tiup oleh PT Krakatau Steel dan Gunung Steel Group. Selain itu, beberapa pabrik baru juga akan didirikan, baik pabrik peleburan besi tua scrap atau besi spons dengan menggunakan teknologi EAF electric arc furnace. Kebutuhan baja Indonesia juga akan terus meningkat dan diprediksi pada tahun 2020 konsumsi baja Indonesia dapat menjadi 20 juta ton yang mengindikasikan Aspek Teknologi dan …../ Zulfiadi Zulhan 107 bahwa pabrik-pabrik peleburan besi dan baja mempunyai potensi untuk dibangun. Kapasitas produksi pabrik baja di Indonesia baik yang berbahan baku besi tua maupun bijih besi diberikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Total kapasitas terpasang dari pabrik-pabrik tersebut adalah sekitar 5,7 juta ton. Pada umumnya, pabrik-pabrik ini tidak beroperasi dengan kapasitas penuh. Perkiraan pada tahun 2010, faktor utilisasi dari pabrik-pabrik baja di Indonesia hanya sekitar 65% dari kapasitas terpasang. Permasalahan rendahnya output pabrik dari kapasitas terpasang ini dapat disebabkan oleh kesulitan bahan baku terutama besi tua scrap, perawatan serta efisiensi pabrik. Setelah selesai fase ke II pembangunan pabrik oleh PT Krakatau POSCO, perkiraan kapasitas terpasang dari pabrik peleburan baja di Indonesia adalah sekitar 14 juta ton. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2020, pabrik dengan kapasitas sekitar 6 - 8 juta ton per tahun seyogianya dibangun untuk memenuhi kebutuhan baja domestik. 010203040506070802001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 20100123456782001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 a b Gambar 2. Perkembangan produksi baja di beberapa negara a India, Brazil, Turki dan Rusia dan b Asia Tenggara[2]01020304050607080024681012Persentase Impor Baja NettoPersentase Impor Baja NettoGambar 3. Produksi, impor dan ekspor baja Indonesia[2] 108 Majalah Metalurgi, V ISSN 0216-3188/ hal 105-120 Tabel 1. Kapasitas produksi pabrik baja berbahan baku besi tua scrap[4] Kapasitas Produksi ton/tahun Inter World Steel Mills Indo Jakarta Megah Steel Utama Tabel 2. Kapasitas produksi perusahaan baja berbahan baku bijih besi Kapasitas Produksi Saat ini ton/tahun Kapasitas Produksi 2015 ton/tahun Kapasitas Produksi 2020 ton/tahun PT Krakatau POSCO Tahap I PT Krakatau POSCO Tahap II BAHAN BAKU PEMBUATAN BAJA Pembuatan baja membutuhkan bahan baku utama bijih besi serta bahan reduktor yang dapat berupa gas alam, batubara atau arang kayu bergantung pada teknologi yang dipilih. Selain itu dibutuhkan juga bahan imbuh flux. Indonesia tidak termasuk ke dalam negara utama penghasil bijih besi. Namun demikian sumber daya alam berupa bijih besi ditemui di beberapa lokasi di Indonesia. Secara umum, bijih besi di Indonesia dikelompokkan menjadi 3 yaitu bijih besi primer, bijih besi laterit dan pasir besi seperti diperlihatkan pada Gambar 4. Bijih besi Indonesia pada umumnya diekspor seperti diperlihatkan pada Gambar 5. Bijih Besi Primer 557 juta ton 15% Bijih Besi Laterit juta ton 40% Pasir Besi juta ton 45% a Bijih Besi Primer juta ton 21% Bijih Besi Laterit 106 juta ton 76% Pasir Besi 4,73 juta ton 3% b Gambar 4. Sumber daya dan cadangan bijih besi di Indonesia 2010 a Sumber daya dan b Cadangan[5] Aspek Teknologi dan …../ Zulfiadi Zulhan 109 02468101214162004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012Ekspor Bijih Besi [Juta Ton]diprediksi berdasarkan data dari "Asosiasi Nikel Indonesia ANI" 5. Ekspor bijih besi Indonesia[6-7] Bijih Besi Tambang dan Produksi Baja [Juta Ton]Produksi BajaProduksi TambangGambar 6. Produksi bijih besi dari tambang dan produksi baja pada tahun 2010[2,8] Produksi tambang bijih besi dari negara-negara penghasil bijih besi dan produksi baja pada tahun 2010 diperlihatkan pada Gambar 6. Negara-negara pengekspor bijih besi adalah Australia, Brazil, Afrika Selatan, Venezuela, Kazakstan, Swedia dan Kanada. Walapupun memproduksi bijih besi sendiri, negara-negara seperti China, Rusia, USA dan Meksiko masih harus mengimpor bijih besi karena kebutuhan baja yang besar. Indonesia mengekspor hampir 100% bijih besi serta mengimpor 100% bijih besi dalam bentuk pelet untuk pembuatan besi spons di PT Krakatau Steel. Sebagian kecil bijih besi diolah menjadi besi spons oleh PT MJIS yang mulai beroperasi pada tahun 2012. Pengolahan bijih besi menjadi produk baja adalah usaha untuk meningkatkan nilai tambah dari produk tambang sehingga diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja, mengurangi ketergantungan impor baja, menguasai teknologi pembuatan baja dengan baik, serta memberikan multiplier effect bagi masyarakat di sekitar industri peleburan besi dan baja. Peningkatan harga jual produk dari tiap-tiap tahapan pengolahan bijih besi menjadi produk baja diperlihatkan pada Gambar 7. 110 Majalah Metalurgi, V ISSN 0216-3188/ hal 105-120 010020030040050060070080090010001100Plat Baja Canai Panas HRC PlateGambar 7. Peningkatan nilai tambah dari pengolahan bijih besi[9-10] TEKNOLOGI PEMBUATAN BESI DAN BAJA Teknologi yang dapat digunakan untuk mengolah bijih besi menjadi produk besi spons atau pig iron dan baja telah dikembangkan dengan baik. Teknologi-teknologi tersebut diperlihatkan pada Gambar 8 yang dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu teknologi blast furnace, teknologi smelting reduction, teknologi direct reduction dan teknologi daur ulang besi tua scrap dengan tanur listrik electric arc furnace, EAF. Teknologi blast furnace adalah teknologi yang sangat dominan digunakan untuk memproduksi besi wantah pig iron sebagai bahan baku untuk menghasilkan baja seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Teknologi blast furnace adalah teknologi yang sudah mapan dan sudah dikembangkan sejak tahun 1600-an. Keunggulan teknologi blast furnace adalah efisiensi energi yang baik dan produktivitas tinggi. Daur ulang besi tua scrap dengan EAF menduduki posisi kedua untuk menghasilkan baja, yang diikuti oleh teknologi direct reduction dan teknologi smelting reduction. Teknologi smelting reduction yang sudah teruji di industri adalah teknologi Corex dan Finex yang telah dikembangkan sejak 1970-an. Teknologi Corex mengolah bijih besi dalam bentuk pelet atau bongkahan sedangkan teknologi Finex mengolah bijih besi yang berukuran halus 10 USD / mmBTU. Oleh karenanya, pada ekspansi pabrik yang dilakukan oleh PT Krakatau Steel, teknologi blast furnace dipilih. Penggunaan teknologi direct reduction berbasis gas ini lebih dominan di negara-negara yang mempunyai gas banyak dan harga yang murah, misal di Saudi Arabia, Iran, Qatar, Venezuela dan lain-lain. Untuk Indonesia, proses-proses berbasis batubara sebaiknya diaplikasikan. 112 Majalah Metalurgi, V ISSN 0216-3188/ hal 105-120 Tabel 3. Klafikasi teknologi direct reduction Reduktor Gas Gas H2 dan/atau CO berasal dari reformasi gas alam, gasifikasi batubara atau lainnya Shaft furnace SF bijih besi pelet - Midrex - HyL Rotary Kiln RK bijih besi pelet atau bongkahan - Krupp-Codir - SL/RN - DRC - ACCAR/OSIL - TDR - JINDAL Fluidized Bed FB bijih besi halus - Fior / Finmet - Circored / Circofer Rotary Hearth Furnace RHF bijih besi pelet + batubara SRP, self reducing pellet - Fastmet - Inmetco - ITMk3 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011Produksi Besi Spons Juta Tondigunakan untuk r ecyclingwaste yang mengandung besiGambar 10. Data statistik produksi besi spons berdasarkan teknologi[11] Kontribusi teknologi rotary kiln dalam menghasilkan besi spons memperlihatkan peningkatan yang signifikan dari 3,18 juta ton pada tahun 2001 menjadi 17,34 juta ton pada tahun 2011. Negara yang paling dominan menggunakan teknologi ini adalah India. Proses pembuatan besi spons di rotary kiln lebih simpel dibandingkan dengan proses lainnya. Rentang ukuran bijih yang lebih besar yang bisa diumpankan baik dalam bentuk bongkahan maupun pelet merupakan kelebihan dari teknologi ini. Batubara yang digunakan adalah batubara berkalori minimum 5000 kcal/kg. Batubara jenis ini tentunya lebih banyak dan lebih mudah didapatkan di Indonesia. Sejak tahun 2009, teknologi rotary hearth tidak digunakan untuk memproduksi besi spons dari bijih besi. Teknologi ini lebih banyak digunakan untuk mengambil kembali logam besi yang terdapat dalam limbah waste di industri besi baja. Jumlah besi spons yang dihasilkan dengan teknologi fluidized bed memperlihatkan kecenderungan menurun dari tahun 2001 hingga lebih kecil dari 0,6 juta ton pada tahun 2009-2011. Dari data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa teknologi direct Aspek Teknologi dan …../ Zulfiadi Zulhan 113 reduction yang dipertimbangkan untuk digunakan adalah teknologi rotary kiln. Perbandingan teknologi rotary kiln dengan teknologi blast furnace diberikan pada Tabel 4. Teknologi blast furnace umumnya digunakan untuk memproduksi besi dalam jumlah yang besar, misal 1 juta ton per tahun atau lebih. Teknologi blast furnace juga sebaiknya langsung digabung dengan teknologi pembuatan baja BOF basic oxygen furnace untuk memanfaatkan panas yang terdapat dalam lelehan besi wantah hot metal dan reaksi eksotermik yang menghasilkan energi pada saat proses pemurnian dengan menggunakan oksigen. Seperti telah disinggung sebelumnya, bijih besi Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga yaitu bijih besi primer, laterit dan pasir besi. Teknologi pembuatan besi dan baja yang disarankan diberikan pada Tabel 5. Bijih besi laterit lebih dominan di Indonesia, pengolahan bijih besi laterit menjadi produk baja harus diteliti lebih lanjut untuk mendapatkan proses yang optimum dan efisien serta produk yang mempunyai nilai jual tinggi karena mengandung nikel dan kromiun. Sponge iron dapat digunakan sebagai pengganti scrap besi tua untuk proses pembuatan baja di EAF. Impor scrap saat ini bermasalah karena dicurigai mengandung limbah B3. Tabel 4. Perbandingan teknologi blast furnace dan rotary kiln + Kapasitas kecil hingga besar 500 ribu ton hingga 5 juta ton per tahun -/+Kapasitas lebih rendah 50 ribu ton hingga 500 ribu ton per tahun - Membutuhkan coking plant + Tidak membutuhkan coking plant - Membutuhkan sintering plant - Membutuhkan pelletizing plant jika ukuran bijih besi lebih kecil < 2 mm - Membutuhkan coking coal coke + Tidak membutuhkan coking coal - Biaya investasi lebih tinggi + Biaya investasi lebih rendah - Biaya produksi lebih tinggi + Biaya produksi lebih rendah + Metal dan terak slag terpisah selama proses, produk blast furnace dalam keadaan liquid hot metal - Oksida tidak dapat dipisahkan dengan sempurna, produk dalam keadaan padat sponge + tidak membutuhkan energi listrik untuk membuat baja. - Butuh energi listrik untuk membuat baja -/+ Market mempunyai kandungan karbon yang tinggi ~4%C sehingga tidak dapat diolah 100% di EAF yang banyak terdapat di Indonesia, dapat menggantikan besi tua scrap substitute. + Market mempunyai kandungan karbon yang lebih rendah <2%C sehingga dapat dilebur di EAF 80-90%, dapat menggantikan besi tua scrap substitute. 114 Majalah Metalurgi, V ISSN 0216-3188/ hal 105-120 Tabel 5. Bijih besi dan teknologi pembuatan besi dan baja Bijih besi primer hematit, magnetit Blast Furnace pig iron/hot metal Rotary Kiln sponge iron Rotary Kiln sponge iron Rotary Kiln sponge iron ASPEK EKONOMI PEMBUATAN BESI DAN BAJA 0102030405060$0 $50 $100 $150 $200 $250 $300 $350 $400 $450 $500 Harga Listrik [Cent/kWh], Gas Alam [USD/mmBTU]Gambar 11. Harga bahan baku pembuatan besi serta produk besi spons dan pig iron[9, 12-13] Pembuatan besi dan baja membutuhkan bahan baku utama bijih besi, reduktor baik dalam bentuk batubara maupun gas alam serta sumber energi listrik, batubara, minyak, gas alam. Harga bahan baku dan energi tersebut serta harga produk besi spons dan pig iron selama sembilan bulan terakhir diperlihatkan pada Gambar 11. Teknologi yang disarankan untuk mengolah bijih besi adalah rotary kiln dan blast furnace. Perkiraan biaya investasi peralatan utama dan infrastruktur pembangunan pabrik capex, capital expenditure dari kedua teknologi tersebut untuk menghasilkan 300 ribu ton produk per tahun diberikan pada Tabel 6. Perkiraan capex ini tidak termasuk biaya pelabuhan, jalan, perumahan karyawan dan fasilitas lainnya. Biaya investasi untuk blast furnace sudah memperhitungkan biaya untuk konstruksi coke oven coking plant untuk membuat kokas serta sinter plant untuk aglomerasi bijih besi. Oleh karenanya, biaya investasi blast furnace lebih besar dibandingkan dengan rotary kiln. Untuk menentukan biaya operasi opex, operational expenditure, data-data konsumsi per ton produk diberikan pada Tabel 7. Konsumsi bijih besi rotary kiln lebih sedikit dibandingkan dengan blast furnace karena dalam produk rotary kiln masih mengandung oksida-oksida pengotor SiO2, Al2O3, dan lain-lain serta besi oksida FeO dari metalisasi sekitar 90%. Harga-harga material-material tersebut yang digunakan untuk menentukan biaya operasi ditabulasikan pada Tabel 8. Biaya produksi per ton produk ditunjukkan pada Tabel 9. Aspek Teknologi dan …../ Zulfiadi Zulhan 115 Depresiasi sudah diperhitungkan dalam biaya operasi ini. Biaya produksi besi wantah hot metal / pig iron dengan teknologi blast furnace lebih tinggi dibandingkan dengan biaya produksi besi spons dengan rotary kiln. Hal ini disebabkan oleh penggunaan kokas yang berasal dari “coking coal” sebagai reduktor pada proses peleburan di blast furnace. Selain itu, temperatur proses di blast furnace lebih tinggi dibandingkan dengan rotary kiln yang ditandai dengan produk yang dihasilkan dari blast furnace adalah lelehan sedangkan produk rotary kiln adalah besi spons dalam keadaan padat. Energi yang terdapat dalam lelehan besi wantah produk blast furnace adalah tinggi sehingga sangat tidak disarankan untuk membuat produk dalam bentuk pig iron padat dengan menggunakan “casting pig iron”. Lelehan besi wantah sebaiknya langsung digunakan untuk membuat baja dengan menghembuskan oksigen di BOF . Tabel 6. Bijih besi dan teknologi pembuatan besi dan baja[9, 14-15] Kapasitas juta ton / tahun Biaya investasi USD/ton*tahun Biaya infrastruktur civil works Biaya total USD/ton*tahun Biaya total Capex juta USD Tabel 7. Konsumsi per ton produk[9, 14-15] Tabel 8. Biaya satuan material, energi dan tenaga kerja[9, 14-15] Bijih besi + Aglomerasi USD/ton 116 Majalah Metalurgi, V ISSN 0216-3188/ hal 105-120 Tabel 9. Biaya produksi per ton produk[9, 14-15] Total Biaya Produksi Opex Gambar 12. Kontribusi harga masing-masing komponen terhadap biaya operasi Tabel 10. Resume perbandingan capex, opex serta produk Harga bahan baku bijih besi merupakan komponen yang paling besar yang menentukan biaya operasi yang diikuti oleh batubara atau kokas metalurgi sebagai reduktor dan sumber energi, Gambar 12. Harga jual produk besi spons dan pig iron adalah 341 dan 465 USD/ton per ton produk. Selisih harga jual dengan biaya operasi diperlihatkan pada Tabel 10. Perbandingan biaya produksi baja dengan menggunakan jalur proses “RK rotary kiln – EAF electric arc furnace dan “BF blast furnace – BOF basic oxygen furnace” diberikan pada Tabel 11 dan 12 secara berurutan. Pembuatan baja dengan rute RK-EAF dan BF-BOF memberikan biaya produksi per ton produk baja yang hampir sama sekitar 500 Aspek Teknologi dan …../ Zulfiadi Zulhan 117 USD/ton, asalkan hot metal dari blast furnace langsung diolah di BOF dalam keadaan leleh tanpa didingikan terlebih dahulu menjadi produk pig iron fasa padat. Jika besi wantah dari blast furnace dicor dalam bentuk pig iron, maka energi akan dibutuhkan untuk memanaskan dan melebur kembali pig iron tersebut baik dengan menggunakan electric furnace, induction furnace atau tanur-tanur lainnya sehingga biaya pembuatan baja dari pig iron ini menjadi lebih besar. Harga produk baja dalam bentuk baja tulangan rebar atau pelat baja canai panas hot rolling coil plate adalah lebih besar dari 650 USD/ton. Biaya pembuatan besi dan baja ini didominasi oleh biaya bahan baku bijih besi yang diikuti reduktor dan sumber energi. Tabel 11. Biaya produksi baja dengan jalur proses RK-EAF diolah kembali dari data Tabel 12. Biaya produksi baja dengan jalur proses BF-BOF diolah kembali dari data 118 Majalah Metalurgi, V ISSN 0216-3188/ hal 105-120 KESIMPULAN DAN SARAN Pada tahun 2010, produksi baja Indonesia adalah 3,66 juta ton sedangkan konsumsi baja adalah 10,14 juta ton sehingga sebagian besar baja masih diimpor lebih dari 60%. Kapasitas produksi baja terpasang saat ini sekitar 5,7 juta ton. Pada tahun 2020 kebutuhan baja Indonesia diprediksi meningkat menjadi sekitar 20 juta ton. Dengan selesainya pembangunan pabrik baja terintegrasi oleh PT Krakatau POSCO, penambahan kapasitas produksi oleh PT Krakatau Steel dan eskpansi dari Gunung Group, kapasitas produksi baja pada tahun 2020 diperkirakan sekitar 14 juta ton. Hal ini mengindikasikan bahwa produksi baja masih belum mencukupi sehingga masih berpeluang untuk membangun pabrik baja dengan kapasitas 6-8 juta ton. Cadangan bijih besi Indonesia pada tahun 2010 adalah 140 juta ton yang didominasi oleh laterit 76%. Kegiatan eksplorasi harus ditingkatkan untuk menaikkan status potensi sumberdaya menjadi cadangan. Teknik-teknik pengolahan bijih besi laterit menjadi produk baja harus diteliti lebih lanjut untuk mendapatkan proses yang optimum dan efisien serta produk yang mempunyai nilai jual tinggi. Teknologi yang disarankan untuk mengolah bijih besi adalah blast furnace atau rotary kiln. Produk dari rotary kiln sponge iron diharapkan dapat mensubstitusi impor besi tua steel scrap yang saat ini diduga mengandung limbah B3. Kontribusi bahan baku bijih besi terhadap biaya produksi pembuatan besi dan baja adalah lebih besar dari 50%. Oleh karenanya, peningkatan nilai tambah bijih besi di dalam negeri harus dilakukan. Pembangunan pabrik pembuatan besi dan baja membutuhkan listrik yang besar. Contoh Jalur proses RK-EAF untuk skala 300 ribu ton per tahun membutuhkan listrik sekitar 55 MW. Oleh karenanya, pemerintah melalui MP3EI disarankan bersinergi lebih aktif dengan pengusaha untuk membangun pembangkit listrik baru terutama di luar Jawa. Pemerintah seyogianya membuat kebijakan energi yang bijak untuk mendukung kemajuan industri dalam negeri. Produk samping dari industri besi baja, misal terak yang mempunyai nilai jual, masih dikategorikan sebagai limbah B3. Kajian yang mendalam sebaiknya dilakukan dalam mengklasifikasikan jenis limbah dari bahan-bahan sisa pengolahan dan peleburan di industri besi dan baja. DAFTAR PUSTAKA [1] Juni 2012, Stahl-Zentrum, Wirtschaftsvereinigung Stahl, Welterzeugung 1970/2011. [2] Association. [3] Ghosh, A., Chatterjee, A. 2010. Ironmaking and Steelmaking Theory and Practice. New Delhi PHI Learning Private Limited. [4] Indonesian Iron and Steel Industry Association IISIA Directory. 2012. [5] Pardiarto, B. 2011. Peluang Bijih Besi dalam Pemenuhan Kebutuhan Komoditas Mineral Strategis Nasional. Buletin Sumber Daya Geologi, Volume 6 Nomor 2. [6] Haryadi, H., Saleh, R. 2012. Analisis Keekonomian Bijih Besi Indonesia. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara, 11-61. [7] [8] Jorgenson, 2012. US Geological Survey, Mineral Commodity Summaries Iron Ore. [9] [10] [11] [12] [13] [14] Feinman, J., Mac Rae, 1999. Direct Reduced Iron Technology and Economics of Production and Use. USA Iron and Steel Society. Aspek Teknologi dan …../ Zulfiadi Zulhan 119 [15] Chatterjee, A. 2010. Hotmetal Production by Smelting Reduction of Iron Oxide. New Delhi PHI Learning Private Limited. RIWAYAT PENULIS Zulfiadi Zulhan, lahir di Aceh Utara, S1 Option Metalurgi Teknik Pertambangan ITB, S2 Rekayasa Korosi Teknik Pertambangan ITB, S3 Institute for Ferrous Metallurgy, RWTH Aachen Germany. Mendapat Ludwig von Bogdandy – prize award pada tahun 2006 dan Borchersplakette - award pada tahun 2008 dari RWTH Aachen Germany. Bekerja sebagai metallurgist di SIEMENS VAI Metals Technologies GmbH Duisburg Germany pada tahun 2006-2009. Dosen tetap di Program Studi Metalurgi FTTM-ITB. 120 Majalah Metalurgi, V ISSN 0216-3188/ hal 105-120 ... Domestic iron ore/concentrate production cannot be used directly in the steel industry because it contains laterite, which cannot be used directly by the domestic steel industry. The steel industry has been using iron ore containing hematite as raw [20]. The iron used in the steel industry must have at least 60% Fe content in fine or lump form [21,22]. ...D Cahyaningtyas Triswan SusenoS RochaniHartonoThe iron and steel industries play a crucial role in supporting national development. The high dependence on imported raw materials causes Indonesia to suffer US $ billion steel trade deficit per year. This study identifies the role of iron and nickel smelters in supporting the development of steel industries. The methodology used is descriptive statistics and regression models. Ferronickel and nickel pig iron as the primary raw materials for stainless steel have been produced in Indonesia, but only and are sold domestically. According to the linear regression models, it is expected that steel production and consumption will grow. Indonesia will become an independent steel producer and even export it by 2050. However, the supply chain is weak and poorly integrated as the local raw materials do not meet the domestic steel industry’s specifications. By 2050, 44 million tonnes of scrap, 19 million tonnes of sponge iron, 16 million tonnes of nickel, and 10 million tonnes of other raw materials will be needed annually. Hence, to reduce the national steel trade deficit, Indonesia must increase the smelters capacity and optimize local iron resources by increasing Fe content to meet the specifications of the national steel industry.... Pengolahan bijih besi menjadi produk baja adalah usaha untuk meningkatkan nilai tambah dari produk tambang sehingga diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja, mengurangi ketergantungan impor baja, menguasai teknologi pembuatan baja dengan baik, serta memberikan multiplier effect bagi masyarakat di sekitar industri peleburan besi dan baja [3]. ... Nadya UlfaKATA PENGANTAR Dokumen manual Sistem Manajemen Lingkungan PT. Jayamahe Steel ini menampilkan pokok-pokok dan kerangka dasar Sistem Manajemen Lingkungan perusahaan dengan tujuan untuk mencapai kebijakan lingkungan, tujuan dan sasaran lingkungan, serta mencapai perbaikan berkelanjutan. Kerangka dasar Sistem Manajemen Lingkungan yang dimuat dalam dokumen manual ini disusun berdasarkan persyaratan standar Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001. Dokumen manual Sistem Manajemen Lingkungan ini bersifat rahasia, tidak diperkenankan untuk menyalin sebagian atau seluruh dari dokumen ini tanpa izin tertulis dari Perusahaan atau Manajemen Representatif. Tim PenyusunBambang PardiartoProgram pemerintah untuk membangun industri baja berbasis bahan baku lokal di Kalimantan Selatan telah dipelopori oleh PT Krakatau Steel bermitra dengan PT Antam Persero Tbk yang telah memasuki tahap konstruksi. Selain itu perusahaan ini juga menggandeng Posco untuk mendirikan pabrik baja di Cilegon. Kebutuhan bahan baku berupa bijih besi untuk menopang kedua proyek tersebut sangat besar. Untuk jangka waktu 20 tahun ke depan diperkirakan potensi bijih besi yang ada di Indonesia saat ini tidak akan cukup untuk mensuplai industri baja tersebut. Langkah strategis pemerintah perlu dilakukan agar bijih besi menjadi mineral strategis and Steelmaking Theory and PracticeA GhoshA ChatterjeeGhosh, A., Chatterjee, A. 2010. Ironmaking and Steelmaking Theory and Practice. New Delhi PHI Learning Private Keekonomian Bijih Besi IndonesiaH HaryadiR SalehHaryadi, H., Saleh, R. 2012. Analisis Keekonomian Bijih Besi Indonesia. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara, 1 Geological Survey, Mineral Commodity Summaries Iron OreJ D JorgensonJorgenson, 2012. US Geological Survey, Mineral Commodity Summaries Iron Reduced Iron Technology and Economics of Production and UseJ FeinmanD R Mac RaeFeinman, J., Mac Rae, 1999. Direct Reduced Iron Technology and Economics of Production and Use. USA Iron and Steel Society. August 04, 2020 1644 ET Source Johnson Matthey LONDON, Aug. 05, 2020 GLOBE NEWSWIRE - Johnson Matthey JM, pemimpin global dalam bidang teknologi berkelanjutan spesialis desain dan pelisensian pabrik metanol berskala besar, dengan bangga mengumumkan bahwa perusahaan kembali berhasil meraih penghargaan lisensi. JM terpilih sebagai lisensor pabrik sintesis metanol ke-3 milik Ningxia Baofeng Energy Group, Tiongkok, di pabrik pengolahan batu bara menjadi olefin dekat Yinchuan, Provinsi Ningxia, Republik Rakyat Tiongkok. Setelah selesai dibangun, pabrik rencananya akan memiliki kapasitas sebesar 7200 mtpd, menjadikannya sebagai pabrik metanol pengolahan tunggal terbesar di dunia. Johnson Matthey telah sepakat untuk menjadi lisensor dan pemasok rekayasa, tinjauan teknis, bantuan komisioning, penyediaan katalis, dan peralatan terkait. Pabrik metanol JM akan menggunakan gas sintesis sebagai feed dan menggunakan konverter penghasil uap radial JM dalam Series Loop berpaten. Pabrik bekerja sama dengan katalis JM untuk menghasilkan metanol stabil sebagai produk yang digunakan untuk memproduksi olefin di hilir, serta meningkatkan efisiensi energi sekaligus menurunkan OPEX, CAPEX, dan emisi. Pengoperasian pabrik berkapasitas lebih dari 5500 mtpd ini akan menjadi lisensi JM yang ke-8 di Tiongkok. Pabrik merupakan hasil desain metanol JM ke-3 yang dilisensikan oleh Ningxia Baofeng Energy. Penghargaan ini melanjutkan keberhasilan komisioning terbaru dari unit sistesis metanol Baofeng 6600 mtpd pada Mei 2020 dan unit sistesis metanol asli 4450 mtpd yang mulai dijalankan pada 2014. Hal tersebut juga menunjukkan pengakuan Baofeng atas kepemimpinan teknis JM dalam pasar utama yang terus berkembang, serta membuktikan komitmen dan dedikasi Johnson Matthey untuk menghasilkan produksi metanol berskala besar. “Kami sangat bangga dengan kelangsungan kolaborasi kami bersama Ningxia Baofeng Energy. Ini membuktikan bahwa mereka yakin dengan keahlian dan kemampuan rekayasa JM untuk berhasil mendesain serta membangun pabrik metanol berskala besar”, ucap John Gordon, Managing Director Johnson Matthey. “Kami sangat bangga dengan hasil kemitraan selama enam tahun belakangan. Kami telah berhasil mengoperasikan dua pabrik berskala besar dengan volume lebih besar, dan pabrik skala dunia ketiga yang segera beroperasi. Kami sangat menantikan fase ambisius berikutnya dalam perjalanan ini, dan akan terus meningkatkan standar penyelesaian proyek kelas dunia.” Johnson Matthey adalah pemimpin global dalam bidang sains dengan fokus untuk menciptakan dunia yang lebih bersih dan sehat. Dengan komitmen berkelanjutan atas inovasi dan terobosan teknologi selama lebih dari 200 tahun, perusahaan terus meningkatkan performa, fungsi, dan keamanan produk pelanggan. Sains perusahaan telah berdampak secara global dalam bidang transportasi, farmasi, dan pemrosesan bahan kimia beremisi rendah, serta memaksimalkan efisiensi penggunaan sumber daya alam bumi. Hari ini, Johnson Matthey memiliki lebih dari pekerja profesional yang berkolaborasi dengan jaringan pelanggan dan mitra untuk menciptakan perubahan nyata pada dunia di sekeliling kita. Untuk informasi selengkapnya, kunjungi Inspiring science, enhancing life Ningxia Baofeng Energy didirikan pada tahun 2005, dan merupakan perusahaan swasta pengolahan batu bara menjadi olefin terbesar di Tiongkok hingga saat ini. Saham Baofeng Energy terdaftar di Shanghai Stock Exchange dengan kode saham Pabrik utama produksi perusahaan berada di kawasan energi & kimia nasional – Ningdong Energy & Chemical Base di barat laut Tiongkok, dan mengutamakan penerapan energi Tiongkok yang Kaya akan batu bara tapi miskin akan minyak dan gas’. Pabrik memaksimalkan sepenuhnya sumber daya batu bara lokal untuk membangun rantai produksi batu bara – kokas – metanol – olefin – kimia adi’ di kompleks kimia Ningdong seluas hektare. Kompleks ini kini memproduksi kt/a poli-olefin, kt/a metanol, kt/a kokas, serta 780 kt/a kimia adi, menjadikannya sebagai perusahaan terdepan dalam industri material berbasis batu bara yang paling terintegrasi dan ramah lingkungan. Baofeng akan berfokus pada poli-olefin dengan menggabungkan energi baru dengan industri kimia batu bara modern, sekaligus menciptakan terobosan dalam peningkatan kimia batu bara modern. Untuk informasi selengkapnya, hubungi Alan InghamCommercial Licensing Manager JM+44 20 7957 3148Jennifer RennickMarketing Lead JM+1 732 223 4644Zhang YuanyuanKontak media untuk Ningxia Baofeng Energy+86 13301101975 Kebutuhan gula di Indonesia tinggi, namun produksi gula di Indonesia rendah. Oleh karena itu, pemerintah melakukan impor gua untuk memenuhi kebutuhan gula di Indonesia. Agar tidak keterganatungan terhadap impor gula, pemerintah harus mengadakan swasembada gula yang diwujudkan dengan menambah pabrik gula sehingga produksinya meningkat. Penambahan prabik ini akan berimbas juga pada meningkatnya air limbah di sekitar industri gula. Air limbah yang berasal dari industri gula memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Karena kandungan bahan organik yang tinggi, air limbah ini tidak dapat langsung dibuang ke llingkungan. Oleh karena itu, air limbah ini perlu diolah untuk mengurangi kadar organiknya. Pengolahan air limbah ini terbagi dua yaitu secara biologis dan fisiko-kimia. Pengolahan secara biologis dibagi menjadi dua yaitu metode anaerob dan metode aerob. Pengolahan secara anaerob menggunakan reaktor seperti UAFB,UASB, dan AFR, sedangkan pengolahan secara aerob menggunkan ASFF, laguna teraerasi, dan SBR. Untuk pengolaha secara fisiko-kimia menggunakan flokulasi/koagulasi, elektrokimia, dan adsorpsi. Dari kesemua metode hingga saat ini belum ada yang mampu menghilangkan kandungan bahan organik didalam air limbah secara 100%. Oleh karena itu untuk meningkatkan efisiensinya dapat menggunakan metode hibrida dengan menggabungkan penggunaan membrane, metode pengolahan secara biologis, dan metode pengolahan secara fisiko-kimia. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1 SUMBER, TEKNOLOGI PENGOLAHAN, DAN DAUR ULANG DARI AIR LIMBAH PADA PABRIK GULA Yuda Satria Syaifi Abstrak Kebutuhan gula di Indonesia tinggi, namun produksi gula di Indonesia rendah. Oleh karena itu, pemerintah melakukan impor gua untuk memenuhi kebutuhan gula di Indonesia. Agar tidak keterganatungan terhadap impor gula, pemerintah harus mengadakan swasembada gula yang diwujudkan dengan menambah pabrik gula sehingga produksinya meningkat. Penambahan prabik ini akan berimbas juga pada meningkatnya air limbah di sekitar industri gula. Air limbah yang berasal dari industri gula memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Karena kandungan bahan organik yang tinggi, air limbah ini tidak dapat langsung dibuang ke llingkungan. Oleh karena itu, air limbah ini perlu diolah untuk mengurangi kadar organiknya. Pengolahan air limbah ini terbagi dua yaitu secara biologis dan fisiko-kimia. Pengolahan secara biologis dibagi menjadi dua yaitu metode anaerob dan metode aerob. Pengolahan secara anaerob menggunakan reaktor seperti UAFB,UASB, dan AFR, sedangkan pengolahan secara aerob menggunkan ASFF, laguna teraerasi, dan SBR. Untuk pengolaha secara fisiko-kimia menggunakan flokulasi/koagulasi, elektrokimia, dan adsorpsi. Dari kesemua metode hingga saat ini belum ada yang mampu menghilangkan kandungan bahan organik didalam air limbah secara 100%. Oleh karena itu untuk meningkatkan efisiensinya dapat menggunakan metode hibrida dengan menggabungkan penggunaan membrane, metode pengolahan secara biologis, dan metode pengolahan secara fisiko-kimia. Kata kunci air limbah, industri gula, organik, pengolahan, aerob, anaerob, fisiko-kimia 1. Pendahuluan Kebutuhan akan gula di Indonesia cukup tinggi, pada tahun 2010 total kebutuhan gula di Indonesia mencapai angka 5,01 juta ton. Namun disisi produksi gula, Indonesia hanya mampu menyediakan sebesar 2,29 juta ton. Pada tahun 2016, diperkirakan kebutuhan gula akan mencapai angka 5,7 juta. Untuk memenuhi, kebutuhan gula tersebut Indonesia memproduksi sekitar 2,9 juta ton gula dan sisanya mengimpor dari luar negeri. Di Indonesia terdapat kurang lebih 70 pabrik gula. Dari 70 pabrik tersebut, sebagian besar berada di Pulau Jawa. Dari 70 pabrik tersebut, terdapat beberapa pabrik yang tidak beroperasi. Untuk mengurangi jumlah gula yang diimpor setiap tahun, pemerintah perlu pabrik gula tambahan sehingga produksi gula nasional dapat meningkat. Dibandingkan dengan India, produksi gula Indonesia masih jauh tertinggal. Sebagai perbandingan, pada tahun 2011-2012 di India terdapat 529 pabrik gula, dengan produksi gula nasional sebesar 29 juta ton. Dalam penambahan jumlah pabrik gula tersebut, disertai juga dengan penambahan produksi air limbah dari pabrik gula. Air limbah pabrik gula ini memiliki kandungan zat organic yang sangat tinggi, sehingga berbahaya jika dibuang langsung ke lingkungan. Di Indonesia, air limbah di dalam pabrik gula langsung di buang ke lingkungan dikarenakan belum terdapat unit pengolahan air limbah. Padahal dengan begitu banyaknya pabrik gula di daerah Jawa, pembuangan air limbah dengan tinggi kandungan zat organic dapat menyebabkan hilangnya kesuburan tanah, sehingga Pulau Jawa yang notabene merupakan pulau yang subur, kesuburan tanahnya akan terus berkurang. Seperti yang telah disebutkan diatas, air limbah dari industri gula dapat menyebabkan polusi bagi ekosistem di air maupun di darat. Air limbah ini memiliki nilai BOD, COD, dan TSS yang tinggi. Dari literatur juga menyebutkan bahwa air limbah dari industri gula juga tinggi akan kandungan karbohidrat dan protein. Selain itu, kandungan lain yang terdapat pada air limbah ini adalah minyak padat, senyawa basa dan asam. Bahan-bahan organic tersebut jika terbuang ke perairan dapat menyebabkan jumlah oksigen yang terlarut di dalam air akan berkurang, yang disebabkan oksigen tersebut digunakan oleh bakter-bakteri aerob untuk menguraikan bahan organic tersebut. Karena jumlah oksigen terlarut menipis, akibatnya ikan-ikan dan organisme air lainnya mati karena kekurangan oksigen. Bahan organic yang tinggi juga akan menyebabkan peledakan populasi eceng gondok. Dengan tingginya nutrien dari air limbah industri gula menyebabkan pertumbuhan eceng gondok dapat meledak dengan cepat. Banyaknya eceng gondok dapat menyebabkan ekosistem terganggu dan kematian berbagai biota air yang lain. Penyebabnya adalah terhalang sinar matahari ke dalam air akibat terhalang daun eceng gondok sehingga jumlah oksigen terlarut dalam air berkurang drastis. Untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan diatas, dibutuhkan unit pengolahan air limbah yang berasal dari industri gula. Terdapat dua pengolahan untuk mengolah air limbah dari industri gula. Pengolahan pertama adalah secara fisik, yang terdiri dari filtrasi, sedimentasi dan penyetaraan muatan. Pengolahan kedua merupakan pengolahan secara biologis, pengolahan ini terdiri dari aerated lagoon, up-flow anaerobic sludge blanket 2 UASB, expanded granular sludge blanket, dll. Di dalam pengolahan secara biologis, dapat terjadi secara aerob, anaerob, maunpun campuran di antara keduanya. Di dalam paper ini akan di bahas tentang sumber penghasil air limbah dalam pabrik gula, karakteristik air limbah, teknologi pengolahan air limbah dan juga teknologi daur ulang air limbah sehingga dapat digunakan kembali. 2. Proses Pembuatan Gula Dalam pabrik gula, terdapat proses-proses penting yang terlibat dalam pengolahan gula yaitu penggilingan tebu, klarifikasi, evaporasi, dan pemasakan gula. Berikut adalah proses-proses dalam industri gula 1. Preparasi tebu Pada bagian ini, tebu akan dipotong-potong menjadi lebih kecil sebelum masuk ke bagian ekstraksi jus tebu. Hal ini berfungsi untuk memudahkan proses ekstraksi dan meningkatkan efisiensi ekstraksi tebu. 2. Ekstraksi jus tebu Proses ini berfungsi untuk mengambil sukrosa dari tebu. terdapat dua teknologi yang sering digunakan pengggilingan atau difusi. A. Penggilingan Penggilingan adalah proses menekan tebu menggunakan tekanan yang tinggi. Untuk meningkatkan efisiensi penggilingan, selama proses ditambahkan juga air imbibisi. Jus yang didapatkan dari proses ini memiliki kandungan yang rendah gula, lalu dipompa kembali ke penggiling sebelumnya dan dicampurkan dengan tebu sebelum masuk ke roller, jus dari proses penggilingan ini dengan cara yang sama akan dipompa kembali ke unit penggilingan. Jus campuran diambil dari penggiling pertama dan kedua untuk melanjutkan ke proses selanjutnya. B. Difusi Difusi adalah proses mengekstraksi sukrosa dari tebu menggunakan air imbibisi tanpa memberikan tekanan kepada menggunakan penggiling. Tebu yang telah dipotong-potong menjadi kecil dimasukkan ke dalam diffuser di bagian akhir umpan, air panas dicampurkan ke dalam tebu tersebut sebelum bagian akhir dari diffuser. Air panas ini akan merembers masuk ke dalam tebu, dan menghilangkan sukrosa dari tebu. Jus terlarut ini lalu dikumpulkan dan dipompa kembali ke bagian yang dekat dengan ujung umpan, dan larutan jus ini akan merembes kembali kedalam tebu. Pada titik ini, konsentrasi sukrosa di dalam tebu lebih tinggi didalam konsentrasi sukrosa di dalam larutan, sehingga sukrosa dari tebu akan berpindah ke dalam larutan. Lalu larutan yang lebih kaya akan gula akan dipompa kembali ke dalam diffuser dan proses akan diulangi sebanyak 12 sampai 15 kali. 3. Klarifikasi Jus Tebu. Proses ini berfungsi untuk menghilangkan padatan dari jus, seperti lumpur, wax, dan serat. Pada bagian ini, juga terjadi penambahan kalsium hidroksida untuk meningkatkan pH dari gula tebu dari menjadi 7. Kalsium hidroksida juga berfungsi untuk menjaga sukrosa terurai menjadi glukosa dan fruktosa. Campuran ini kemudian, dipanaskan hingga melewati titik didihnya. Proses selanjutnya kemudian, suhu diubah menjadi suhu jenuhnya, sehingga pengotor akan terkristalkan dalam bentuk kalsium karbonat. Lalu jus jenuh ini, akan dimasukkan ke dalam unit klarifikasi untuk menghilangkan padatan tersunpensi. Hasil dari proses ini akan dimasukkan ke dalam evaporator. 4. Penguapan Jus Penguapan jus berfunsgi untuk meningkatkan kosentrasi sukrosa hingga menjadi 60% berat. Proses penguapan ini menggunakan multiple-effet evaporator. 5. Kristalisasi dan Sentrifugasi Sirup yang dihasilkan melalui evaporasi kemudian di tingkatkan konsentrasinya pada unit penguapan vakum, hingga menjadi super jenuh. Lalu kristal gula ini di suspensikan ke dalam alcohol dan dimasukkan kembali kedalam penguapan vakum sebagai kristal bibit dimana sukrosa tersimpan. Kristal akan terus mengmebang hingga ke ukuran dimana siap masuk ke proses berikutnya. Terdapat beberapa skema pendidihan, namun umumnya yang digunakan adalah three-boiling scheme. Metode ini menguapkan larutan gula dalam tiga tahap, yaitu tahap A, tahap B, tahap C. Kristal gula yang telah dididihkan kemudian akan disentrifugasi, sehingga kristal gula dapat terpisah dari larutan induk. Gula yang dihasilkan dari proses ini akan di keringkan dan kemudian disimpan atau langsung dikirim untuk dijual. Larutan induk dari langkah A kemuidan dikristalisasi lagi di penguapan vakum dan melewati proses sentrifugasi kontinyu. Dikarenakan kemurnian yang rendah proses evaporasi dan kristalisasi saja tidak cukup untuk melepaskan molase. Sehingga hasil dari proses tersebut dimasukkan ke dalam cooling crystallizers hingga suhunya mencapai kurang lebih 45oC. Lalu hasilnya kemudaian dipanaskan ulnag untuk menurunkan viskositas dan kemudia dibersihkan di Tabel 3. Karakteristik air limbah dari industri gula mg/L [4] Sentrifugal bagian C. sehingga hasil dari sentrifugasi C disebut molase. Gula yang dihasilkan dari sentifugasi bagian B dan C di lelehkan kembali, disaring dan ditambahkan ke sirup yang berasal dari tahap evaporasi. Untuk lebih jelasnya diagram alir dari proses pembuatan gula dapat dilihat pada gambar berikut Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan Gula dalam Indusntri [7,8] 3. Proses, Sumber, dan Karakteristik Air Limbah Dalam proses pembuatan gula, banyak sekali proses yang membutuhkan utilitas air dan juga membuang effluent yang besar ke lingkungan. Pada bagian 2 telah dijelaskan bahwa proses penggilingan tebu dibutuhkan air yang disebut air imbibisi. Penggunaan air imbibisi ini berfungsi untuk mengefektifkan proses penggilingan tebu. Selain itu, Selain pada saat evaporasi, air juga dibutuhkan untuk kondenser pada unit evaporasi dan unit masakan dan sentrifugasi. Sesuai dengan Water Prevention and Control Pollution Cess Rues 1978, kebutuhan air dalam industri gula adalah 2,0 m3/ton tebu yang digiling dan menghasilkan air limbah sejumlah 0,40 m3/ton dari tebu yang digiling. Sebagai perbandingan di India terdapat 530 pabrik gula dengan kapasitas penggilingan ton/hari, maka kebutuhan air dan air limbah yang dihasilkan sebesar m3/hari dan m3/hari. Berikut tabel konsumsi air dan effluent pada industri gula Tabel 1. Generasi effluent per hari Gunjal & Gunjal 2013 Pembersihan dan pencucian Hot liquor pumps for gland cooling Aliran berebih dari kolam spray Generasi effluent per ton tebu L/ton Tabel 2. Konsumsi air dalam industri gula Gunjal & Gunjal 2013 Hot liquor pump gland cooling Air hangat yang dipindahkan ke sistem kondenser pendingin Tabel 2. Konsumsi air dalam industri gula lanjutan Gunjal & Gunjal 2013 Water to waste - Hot liquor pumps for cooling Air untuk pembersihan dan kebutuhan lain-lian Pencucian dan pembersihan harian Penggunaan laboratorium dan air minum Kebutuhan air total 2-5 m3/d Air limbah dalam industri gula banyak dihasilkan melalui proses pembersihan unit operasi yang digunakan. Pencucian unit penggilingan, unit evaporasi, clarifier, sentrifugasi, dll menghasilkan air limbah yang sangat besar. Pencucian untuk unit rotary vacuum filter dan pembersihan air kapur dan unit pemroduksi gas SO2 juga turut andil dalam penghasil air limbah. Pembersihan periodik dari penukar panas dan evaporator menggunakan NaOH dan HCl untuk membuang kerak yang terbentuk pada permukaan penukar panas dan evaporator berperan dalam adanya kandungan polutan organik dan inorganik pada air limbah. Kebocoran pada pompa, perpipaan, dan unit sentrifugasi juga menghasilkan air limbah. 4 Air limbah dari pengolahan gula mengandung berbagai macam zat, seperti mengandung jus tebu yang terbuang selama proses produksi gula, deterjen, partikel ampas tebu/bagasse, minyak dan lemak yang digunakan sebagai pelumas, dan padatan gula yang hilang selama proses produksi. Air limbah hasil produksi gula dikarakterisasi dengan kandungan yang tinggi akan nutrients, bahan organik dan inorganik. Air limbah dari proses produksi gula dapat dikarakterisasi dengan kandungan nutrient, bahan organik dan inorganik. Kuantitas dan komposisi dari air limbah tergantung pada produk akhir, proses produksi, peralatan yang digunakan, dan variasi komposisi. Di dalam air limbah mengandung banyak sekali BOD dengan konsentrasi sebesar mg/L dan COD dengan konsentrasi sebesar mg/L. Besarnya konsentrasi COD di dalam air limbah disebabkan oleh jus tebu dan padatan gula yang terbuang selama proses produksi. pH dari air limbah berada dalam rentang 4,5-10 dan konsentrasi total solids TS sebesar ± 62 mg/L[13]. Selain yang telah disebutkan tadi, di dalam air limbah juga mengandung nutrient dengan konsentrasi sebesar 15-40 mg/L, serta phosphorus sebesar 1,3-12 mg/L. Melalui data dari berbagai literatur, didalam air limbah terkandung klorida dengan konsetrasi yang tinggi sebesar mg/L, selain itu juga terdapat ion Ca2+, SO42-, Na+, K+, dan logam berat. Karakteristik dari air limbah di industri gula berdasarkan berbagai literatur dapat dilihat pada tabel 3. Keterangan tabel 3 BSI beet sugar industri CSI cane sugar industri SBS synthethic beet sugar air limbah SR sugar refinery CSIa CSI with oil 23 mg/L CSIb CSI with oil and grease 118 mg/L 4. Metode Pengolahan Seperti terlihat pada tabel 3, air limbah dari industri gula banyak sekali mengandung bahan organik dan inorganik. Oleh karena itu, sebelum dibuang ke lingkungan harus diolah terlebih dahulu agar tidak mencemari lingkungan. Pengolahan air limbah dapat menggunakan cara fisik seperti pengayakan, sedimentasi, flotasi udara terlarut, penyetaaraan aliran, dll yang berguna untuk mengurangi jumlah padatan tersuspensi yang terkandung dalam air limbah. Sedangkan untuk mengurangi kadar bahan organik dan disinfeksi dapat menggunakan metode secara biologi. Pengolahan secara biologi berupa pengolahan secara anaerob dan aerob. Selain pengolahan secara biologi, pengolahan secara fisiko-kimia juga dapat digunakan. Metode Biologi Karena, air limbah pada industri gula mengandung banyak sekali gula dan asam lemak volatil yang mudah diuraikan secara biologis, maka pengolahan secara biologi cocok untuk digunakan. Pengolahan secara anaerob Pengolahan secara anaerob sudah banyak digunakan di dalam industri. Keuntungan pengolahan secara anerob dibandingkan dengan secara aerob antara lain 5 membutuhkan energi yang lebih sedikit, menghasilkan metana yang bisa dijadikan sumber energi, dan lebih sedikit menghasilkan lumpur sehingga menurunkan biaya yang dikeluarkan untuk membuang lumpur tersebut[16-18]. Pengolahan secara anaerob menggunakan berbagai macam reaktor yang sudah sering digunakan didalam industri, seperti reaktor anaerob partaian, reaktor anaerob unggun tetap / anaerobic fixed bed reactor AFR, up-flow anaerobic fixed bed UAFB reactor, dan UASB reaktor. Pada awalnya pengolahan anaerob tidak dilakukan di dalam reaktor, melainkan dilakukan di kolam. Dengan cara ini, pengolahan air limbah membutuhkan tempat yang sangat luas dan efisiensinya jauh lebih kecil daripada menggunakan reaktor. Sannchez Hernnandez dan Travieso Cordoba menujukkan bahwa penggunaan anaerob fixed bed reactor dapat dengan efektif menghilangkan COD dan BOD di dalam air limbah bekas penggilingan. Efektifitas penghilangan COD di dalam air limbah berbanding lurus dengan kenaikan hydraulic retention time HRT. HRT yang digunakan antara lain 0,5 hari; 1 hari; 2 hari; 4 hari. Pada HRT yang digunakan adalah 2 hari COD yang berhasil dihilangkan dapat mencapai 80%, sedangkan pada HRT selama 4 hari COD yang dihilangkan dapat mencapai 90%. Kebanyakan industri gula hanya mengimplementasikan pretreatment untuk pemisahan zat padat dengan clarifier / sistem flotasi terlarut. Effluent yang dibuang dari harus menerima pengolahan lanjutan sebelum dapat dibuang ke lingkungan. Namun beberapa tempat penggilingan menggunakan air limbah untuk digunakan sebagai air untuk irigasi. Namun pada kenyataan justru penggunaan air ini sebagai sumber irigasi malah menyebabkan hasil pertanian menurun, kualitas tanah menurun, dan pertumbuhan tanaman menurun. Berdasarkan jurnal ilmiah dari Mehrdad Farhadian, Mehdi Borghei, dan Valentina V. Umrania Pada reaktor up-flow anaerobic fixed bed UAFB pada temperatur 32-34 oC dengan HRT selama 20 jam dan COD influent sebesar 2000-8000 mg/L efisiensi maksimum yang dapat dihasilkan adalah sebesar 75%-93%. Untuk menghasilkan efisiensi penghilangan COD lebih dari 90% perlu packing yang sesuai, didalam reaktor UAFB ini juga dapat mentolerir umpan organik yang sangat tinggi hingga 10 kg COD/m3 tanpa menyebabkan masalah terhadap operasi. Berikut skema dari reaktor UAFB Gambar 2. Skema Reaktor UAFB Peixoto dkk, 2011 Reaktor UASB dapat menghilangkan kandungan COD hingga 80% pada air limbah yang berasal dari industri buah dan sayur dalam waktu 5 minggu sejak reaktor dijalankan. Dengan menggunakan beban organik sebesar 2,7 g COD/L reaktor UASB dapat menghasilkan efisiensi rata-rata hinga 86%. Menurut Fang dan Chui efisiensi penghilangan COD pada reaktor UASB tergantung kepada laju umpan bahan organik dan tidak sensitive terhadap level COD pada air limbah dan waktu tinggal hidrolik HRT. Untuk meningkatkan operasi maksimum pada reaktor UASB disarankan untuk menggunakan operasi beban bertahap. Metode ini dapat dilanjutkan dengan mempertimbangkan jumlah laju beban bahan organik dan waktu tinggal hidrolik, sebagia contoh peningkatan OLR dari 1 kg COD/m3 ke 2 kg COD/m3 ke 3 kg COD/m3 dan seterusnya. Metode proses beban bertahap ini dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas bakteri metanogen dan melanjutkan efisiensi reaktor. Untuk meningkatkan efisiensi penghilangan COD terutama untuk air limbah yang kaya akan karbohidrat, perlu dilakukan hidrolisis, yang disarankan dilakukan secara dua tahap di dalam reaktor UASB. Reaktor pertama berfungsi sebagai tempat untuk hidrolisis dan asidifikasi, dan produk dari rekator pertama akan menjadi umpan pada reaktor kedua. Reaktor kedua berfungsi sebagai reaktor metanogenesis[5]. Untuk reaktor UASB mesofilik, kinerja telah dipelajari dan dievaluasi oleh Nacheva, dkk dalam pengolahan air limbah hasil penggilingan tebu. Dari jurnal ilmiah mereka lebih dari 90% COD berhasil dihilangkan pada OLR lebih dari 16 kg/m3 dan juga menghasilkan biogas yang banyak. Pada akhirnya mereka mendapatkan kesimpulan bahwa standar buangan dalam hal konsentrasi COD dapat ditemukan jika reaktor UASB dioperasikan pada OLR rendah 4 kg COD/m3, namun pada OLR tinggi, diperlukan tambahan 6 tahap pengolahan secara biologi. Hampannavar dan Shivayogimath juga melaporkan pengolahan air limbah dari industri gula menggunakan UASB reaktor yang diisi dengan endapan lumpur non-granular yang dapat diurai secara anaerob yang dioperasikan dengan OLR 0,5 – 16 kg COD/m3d . waktu tinggal hidrolik optimal yang dibutuhkan untuk menghilangkan COD sebesar 89,4% sebesar 6 jam. Skema dari reaktor UASB dapat dilihat pada gambar 3. Gambar 3. Skema reaktor UASB Kinerja berbagai reaktor dalam mengolah air limbah dari industri gula dapat dilihat pada tabel 4. Karakteristik limbah, konfigurasi reaktor, dan parameter operasional semuanya mempengaruhi efisiensi dari pengolahan secara anaerob. Juga karakteristik limbah tidak sesuia untuk pengolahan secara anaerob, maka alternatif lainnya adalah menggunakan co-digestion cara ini akan meningkatkan penguraian limbah dengan karakteristik yang berbeda Alkaya dan Demirer menggunakan air limbah dari industri gula-bit sebagai subjek untuk sistem co-digestion untuk biodegradasi anaerob di dalam reaktor partaian. Sekitar 63,7–87,3% dari padatan volatil tersuspensi VSS hilang teramati untuk 0,51-2,56 g COD / g VSS F/M range. Hal ini menunjukkan tingginya biodegradibilitas untuk air limbah dan bubur bit. Alkaya dan Demirer melakukan percobaan untuk mengolaha air limbah dari proses pembuatna gula-bit, dan bubur bit secara serempak. Limbah pertama diolah di dalam batch-fed continuously mixed anaerobic reactor FCMR. Dan reaktor yang sama digunakan sebagai anaerobic seauentia batch reactor SBR, dan performansi diantara keduanya dibandingkan melalui produksi metana. Dari percobaan tersebut dilaporkan bahwa terjadi kenaikan efisiensi sebanyak 32,2% ketika kofigurasi diganti dari FCMR menjadi SBR. Samaraweera, dkk [29] mempelajari pengolahan anaerob untuk air limbah dari industri gula dan melaporkan bahwa klorinasi, penambahan makronutrien, dan pengikatan temperatur meningkatkan proses penghilangan filament dan lipopolisakarida dari tanki anaerob, pengurangan konsentrasi dari padatan berlebih yang berasal dari clarifier anaerob, peningkatan konsentrasi padatan underflow dari clarifier anaerob, peningkatan alkalinitas di dalam tanki anaerob, peningkatan persen metana di dalam biogas, dan peningkatan beban COD. Berbagai tahap yang terlibat di dalam degradasi polutan organik oleh proses anaerob terdiri dari hidrolisis, atau fermentasi, asetogenesis, dan metanogenesis, dan dalam proses anaerob melibatkan bakteri fermentasi, bakteri asetogen dan metanogen. Alkaya dan Demirer mempelajari untuk memaksimalkan hidrolisis dan asidifikasi air imbah dari pemrosesan gula-bit dan bubur bit untuk memproduksi asam lemak volatil menggunakan metabolism asidogenik anaerob di dalam reaktor anaerob kontinyu. Langkah yang penting di dalam proses ini adalah untuk menghambat aktivitas metanogen. Waktu tinggal hidrolik optimum adalah 2 hari dengan perbandingan pencampuran, limbah sebesar 11 menunjukkan konsentrasi asam lemak volatil tertinggi sebesar ± 209 mg/L sebagai asam asetat dengan derajat asidifikasi sebesar 46,9 ± 2,1%. Immobilize bakteri pada padatan mendukung pemisahan cairan–sel dan mengizinkan sistem untuk menahan biomassa aktif yang lebih tinggi selama proses pengolahan anaerob. Jordening, dkk menginvestigasi sistem untuk hidrolisis/asidifikasi dari air limbah yang mengandung sukrosa dengan immobilize bakteri pada padatan pendukung. Untuk proses hidrolisis dan denitrifikasi organik, fixed bed reactor digunakan dan nitrifkasi dipelajari di dalam rekator yang menggunakan sistem airlift untuk air limbah dari industri gula. Disimpulkan bahwa material berpori dapat tahan dengan kuantitas biomassa besar yang digunakan untuk hidrolisis hingga 55 kg/m3. Selama nitrifkasi batu apung digunakan sebaga material pendukung menunjukkan hasil terbaik dengan 1,2 kg NH4-N/m3d nitrifikasi, dan laju denitrifikasi didapatkan empat kai lipat lebih tinggi 3,5-5 kg NO3-N/m3d. Pengolahan aerob Pengolahan biologi secara aerob umumnya melibatkan penguraian zat organik dengan adanya keberadaan oksigen. Pengolahan aerob konvensional meliputi lumpur aktif, filter tetes, laguna teraerasi, atau kombinasi dari ketiganya. Air limbah yang berasal dari industri gula semuanya dapat diurai secara biologi kecuali minyak dan lemak yang tidka mudah terdegradasi secara anaerob, hal ini dikarenakan minyak menghasilkan asam lemak rantai panjang selama tahap 7 hidrolisis yang menyebabkan penghambatan pada produksi metana. Asam lemak rantai panjang menjadi penghambat bagi bakteri metanogen. Ahmad dan Mahmoud [36] mengadakan percobaan di dalam reakstor partaian untuk menujukkan apakah pengolahan air limbah secara aerob dapat dilakukan atau tidak. Di dalam laporannya, menujukkan bahwa pengolahan secara aerob dapat dilakukan. Seliain itu, juga ditunjukkan bahwa pengurangan COD dapat diprediksi pada parameter yang diberikan dengan bantuan dari ubungan yang diberikan oleh Tucek, dkk . Pada awalnya pengolahan air limbah secara aerob menggunakan laguna/kolam, karena prosesnya ekonomis. Namun berbagai muncul masalah yang timbul seperti butuh tempat yang sangat luas, emisi yang tidak diinginkan, dan bau yang tidak sedap. Selain laguna, digunakan juga laguan teraerasi, dengan menggunakan laguna teraerasi dibutuhkan tempat yang lebih kecil dan waktu tinggal yang lebih sebentar dibandingkan laguna biasa. Namun kelemahan dari sistem ini, adalah HRT yang lama dan penggunaan oksigen yang terlalu besar, dan juga tempat yang dibutuhkan juga masih luas. Hamoda dan Al-Sharekh memeriksa performansi dari sistem, aerated submerged fixed-film ASFF, dimana bio-film dilekatkan pada ubin keramik yang ditenggelamkan dengan kondisi aerasi difusi. Disimpulkan bahwa proses ASFF mampu untuk menangani beban organik yang cukup berat sebesar 5-120 g BOD/m2d dalam hitungan menit dengan efisiensi penghilangan BOD berada dalam rentang 88,5%-97,9% dan 67,8%-73,6% untuk efisiensi penghilangan COD. Laju nitrifkasi juga berkurang namun pada laju yang lebih tinggi. Dari studi diatas tidak ada yang menunjukkan penghilangan bahan organik secara sempurna atau mendekati sempurna. Oleh karena itu, dibutuhkan tahap tambahan dalam pengolahan secara biologi. Sistem hibirida campuran antara pengolahan secara aerob dan anaerob telah dibuktikan mampu memberikan efisiensi penghilangan COD dengan kebutuhan energi yang lebih sedikit. Yang, dkk kombinasi antara UASB anaerob dan EAFB aerob untuk effluent dari pengolahan primer dari air limbah penggilingan tebu menghasilkan penghilangan COD lebih dari 99% pada HRT selama 2 hari. Air yang telah diolah ini memiliki kualitas yang lebih baik untuk proses irigasi. Metode Fisiko-Kimia Koagulasi/flokulasi dengan koagulan anorganik dan adsorpsi sudah umum digunakan untuk menghilangkan padatan tersuspensi, padatan koloid, dan padatan terlarut dari air limbah. Umumnya, koagulasi/flokulasi digunakan untuk pemurnian primer yang digunakan untuk air limbah industri. Di dalam proses koagulasi, partikel tak larut dan/atau material organik terlarut akan bergabung menjadi lebih besar, dan akan dihilalangkan melalui sedimetasi atau fitrasi. Hanya satu studi yang melaporkan pada literature terbuka tentang koagulasi dengan kapur dan subsekuen adsorpsi dengan arang aktif. Dilaporkan efisiensi penghilangan BOD dan COD berturut-turut 96% dan 95%. Parande, dkk mempelajari penghilangan COD di air limbah dari industri gula menggunakan metakaolin, karbon tamarindnut, dan karbon dates nut sebagai adsorben. Adsorpsi isotermal Langmuir dan Freundlich dilaporkan sesuai dengan data eksperimen. Studi menunjukkan bahwa metakaolin dapat memberikan efisiensi penghilangan COD pada dosis 500 mg/L dengan waktu kontak selama 180 menit saat pH 7. Pengolahan air limbah secara elektrokimia elibatkan elektrodeposisi, elektrokoagulasi, elektroflotasi, dan elektrooksidasi. Elektrodeposisi sangat efektif dalam memulihakan logam berat dari aliran air limbah. Elektrokoagulasi sudah sering digunakan untuk proses produksi air atau pengolahan air limbah. Elektrokoagulasi melibatkan generasi dari koagulasi secara in situ dengan cara pelarutan secara elektrik ion besi atau ion aluminium dari masing-masing elektroda besi atau elektroda aluminium. Generasi ion logam terjadi di anoda, sehigga gas idrogen terlepas dari katoda. Gas hydrogen yang dihasilkanakan membantu partikel terflokulasi mengapung keluar dari air. Proses ini disebut juga elektroflokulasi. Keuntungan dari elektrokoagulasi adalah efisiensi penghilangan partikulat yang tinggi, fasilitas pengolahan yang kompak, biaya yang relatif murah, dan kemungkinan yang tinggi bisa di automasi. Ada beberapa faktor yang berpengaruh elektrokoagulasi seperti desnitas arus, keberadaan NaCl, efek pH, temperatur, dan pemasok daya. Pemisahan lumpur terflokulasi dari air limbah dapat diwujudkan dengan menggunakan elektroflokulasi. Elektroflotasi merupakan proses sederhana yang mengapungkan polutan ke permukaan air melalui gelembung kecil yang terdiri dari gas hidrogen dan oksigen yang dihasilkan dari elektrolisis air. Ada beberapa parameter yang mempengaruhi kinerja dari elektroflokulasi seperti pH, susunan elektroda, dan densitas arus. Elektroflokulasi sangat efektif dalam menghilangkan partikel koloid, minyak dan lemak, sebaik untuk membersihkan polutan organik. Elektroflokulasi terbukti memiliki kemampuan yang lebih baik dibandingkan flokulasi udara terlarut, sedimentasi, dan flotasi impeller. Di dalam pengolahan dengan menggunakan elektrooksidasi, material organik akan dioksidasi menjadi karbon dioksida dan air atau oksida lainnya secara elektrokimiawi oleh oksigen yang reaktif dan/atau agen pengoksidasi. 8 Capunitan, dkk menginventigasi elektrooksidasi dan elektrokoagulasi untuk mengolah proses pertukaran ion pada air limbah dari penyulingan gula pada nilai arus yang berbeda. Metode elektro-oksidasi menunjukkann decolorization sebesar 99,9%, penghilangan COD sebesar 63,1%, dan penghilangan TSS sebesar 90,5% pada arus 5A dan waktu elektrolisis selama 7 jam. Pada elektro-koagulasi pada arus 5A dan waktu elektrolisis selama 8 jam menghasilkan decolorization sebesar 71,2% penghilangan COD sebesar 18,5%, dan penghilangan TSS sebesar 97,4%. Berdasarkan data yang telah disebutkan menunjukkan bahwa elektrooksidasi lebih baik daripada elektrokoagulasi, baik dari sisi penghilangan zat organik yang terkandung dalam air limbah dan juga energi yang dibutuhkan. Dari studi lain, Guven, dkk melakukan percobaan dengan menggunakan elektrokoagulasi untuk mengolah air umpan bekas pabrik gula. Efek dari berbagai parameter operasional seperti tegangan yang digunakan, konsentrasi elektrolit, dan konesnetrasi limbah dipelajari untuk persentase penghilangan COD dan laju awal penghilangan COD. Penghilangan COD dan laju awal penghilangan COD tertinggi sebesar 79,66% dan 33,69 mg/L. Di dalam elektrokoagulasi, material elektroda memainkan peranan penting dalam kualitas pengolahan. Selain menggunakan metode elektrokimia, metode adsorpsi dapat digunakan untuk mengolah air limbah dari indsutri gula. Adsorben yang dapat digunakan untuk mengolah air limbah dapat berupa arang aktif, bentonite, lignite, Mgo dan fly ash. Dengan menggunakan adsorbsi dapat menghilangkan COD, TDS, TSS, minyak, lemak, COD, BOD, bau dan warna hingga 80%. Dari keempat jenis adsorben tersebut, arang aktif diketahui memiliki efektifitas paling tinggi dibandingkan adsorben lainnya. Namun harga arang aktif 10 kali lebih mahal dibandingkan bentonite dan lignit. 5. Kualitas limbah yang diolah, penggunaan kembali dan rekomendasi Dari studi diatas, penelitian yang paling efektif untuk diaplikasikan dalam pengolahan air limbah dari industri gula adalah pengolahan secara anaerob. Sesuai pada bab bahwa minyak dan lemak tidak mudah diolah menggunakan metode anaerob, karena akan menghasilkan asam lemak rantai panjang pada tahap hidrolisis, yang menghambat proses pembentukan metana. Dan juga, proses anaerob menguraikan sebagian nutrient. Terlebih lagi, dari kesemuanya tidak ada yang mampu menghilangkan seluruh zat organik yang terkandung dalam air limbah. Di dalam bidang pengolahan secara aerob, laguna teraerasi, ASFF culture dan kultur campuran lumpur aktif sudah banyak digunakan untuk pengolahan air limbah industri gula. Berbagai penulis telah menunjukkan vahwa pengolahan air limbah menggunakan SBR menghasilkan persentase penghilangan bahan organik yang tinggi dan juga SBR tidak membutuhkan tempat yang luas jika dibandingkan dengan metode aerob lainnya. Metode hibrida antara anaerob dan aerob dapat menghilangkan kandungan bahan organik dari air limbah industri gula secara sempurna. Jurnal yang berkaitan dengan metode hibrida masih sedikit, sehingga dibutuhkan kerja lebih pada bidang ini. Dikarenakan air limbah daari industri gula mengandung banyak sekali DS dan SS, metode fisiko-kimia seperti adsorpsi dan koagulasi sangat cocok untuk digunakan. Namun, studi yang berkaitan dengan bidang ini masih sedikit. Parameter kinetika dan isotermal untuk adsorpsi belum ada bentuk laporan tertulis, padahal hal ini penting untuk perancangan dalam unit adsorpsi. Untuk elektrokoagulasi perlu ada studi lebih lanjut yang berkaitan dengan tipe elektroda yang digunakan di dalam pengelolaan air limbah menggunakan elektrokoagulasi. Di dalam elektrooksidasi zat organik di oksidasi langsung di permukaan dari elektroda. Oleh karena itu, tidak ada tempat untuk generasi untuk polutan sekunder. Ada berbagai kesempatan dan batasan dari berbagai metode yang digunakan untuk mengolah air limbah. Untuk metode anaerob keuntungan yang muncul antara lain memiliki ukuran reaktor yang relatinf kecil, membutuhkan energi yang lebih sedikit, memugkinkan menghasilkan energi melalui produksi metana selama proses penguraian zat organik, kurangnya produksi lumpur berlebih, dengan menggunakan co-digestion mampu menghilangkan VSS hingga 90%, kualitas effluent baik, mampu menahan beban COD yang tinggi hingga 16 kgCOD/m3d, penghilangan nitrogen rendah, namun laju denitrifkasi selama pengolahan dapat ditingkatkan, menggunakan bakteri yang immobilized pada padatan pendukung. Untuk metode aerob, keuntungan yang muncul antara lain proses aerated submerged fixed film ASFF mampu menahan beban organik yang berat 50-120 g BOD/m2d, kualitas effluent yang dihasilkan baik, Aerob SBR dilaporkan mampu menghasilkan penghilangan zat organik yang tinggi untuk air limbah di berbagai industri terutama untuk idnsutri gula, luas lahan yang dibutuhkan dalam SBR juga jauh lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan lumpur aktif teraerasi. Pada pengolahan secara fisiko-kimia, keuntungan yang ada antara lain memiliki berbagai alternatif pengolahan air limbah seperti koagulasi/flokulasi, adsorpsi, elektrokimia, kombinasi sistem koagulasi dengan adsorpsi mampu meenghilangkan COD dan BOD sebesar 96% dan 95%, elektrooksidasi memberikan pengolahan yang lebih baik dibandingkan dengan elektrokoagulasi, dan tidak 9 generasi dari polutan sekunder yang terjadi di metode elektrooksidasi. Namun selain keuntungan terdapat juga batasan-batasan yang perlu diperhatikan dalam memilih metode yang akan digunakan untuk mengolaah air limbah industri gula. Yang pertama metode anaerob, didalam metode anaerob terdapat tiga batasan, yaitu minyak dan lemak tidak mudah diuraikan menggunakan metode anaerob, proses anaerob menguraikan sebagian zat organik, effluent perlu mendapatkan pasca pengolahan. Untuk metode aerob, batasan yang ada antara lain menghasilkan lumpur berlebih yang tinggi, membutuhkan tempat yang luas, mengemisikan bau yang tidak sedap selama proses penguraian, pengolahan secar aerob belum dapat menghilangkan zat organik di dalam air limbah. Untuk metode ppengolahan secara fisiko-kimia batasan yang muncul antara lain selama proses koagulas/flokulasi menggenerasi polutan sekunder, pada elektrokoagulasi elektroda akan larut dalam air limbah yang diakibatkan karena oksidasi dan membuat perlu di ganti secara rutin, lapisan elektroda dengan material oksida terdeposit ke katoda sehingga menyebabkan penurunan efisiensi pada proses elektrokoagulasi, pada kasus elektrokoagulasi, air limbah yang sudah diolah bisa jadi terkontaminasi oleh material dari elektroda. Air imbibisi, air pendingin, air make-up boiler, umpan scrubber, air make-up scrubber, umpan kondenser, dan air make-up kondenser adalah air yang sering digunakan di dalam industri gula. Jumlah rata-rata yang dibutuhkan untuk 1 ton tebu yang dihancurkan adalah sekitar 11 m3 per harinya [50]. Oleh karena itu dibutuhkan sekitar m3 air untuk industri gula dengan kapasitas produksi sebesar TCD. Air limbah yang diolah mungkin dapat digunakan kembali untuk konsumsi air yang berbeda untuk mengurangi beban air bersih dan mecapai target nol pembuangan air. Di sisi lain, penggunaan air limbah sebagai sarana irigasi merupakan cara lama untuk memanfaatkan air limbah dari industri gua, namun karena masih tinggi polutan di dalam air limbah malah berfek kepada terhambatnya pertumbuhan tumbuhan, berkurangnya hasil panen, dan rusaknya kesuburan tanah. Pengolahan air limbah yang didukung dengan penggunaan membrane seperti reverse osmosis RO, microfiltration MF, nanofiltration NF, ultrafiltration UF mampu menghasilkan effluent dengan kualitas tinggi agar dapat langsung dipakai. Hingga saat ini belum ada literature yang menunjukkan penggunaan membrane dalam pengolahan air limbah dari industri gula. Air limbah dari industri gula banyak sekali mengandung DS dan SS, sehingga dapat menyebabkan fouling yang parah kepada membrane. Oleh karena itu, untuk pengolahan air limbah dari industri gula perlu sistem hibrida yang menggabungkan antara penggunaan membrane, pengolahan secara biologis, dan pengelohan secara fisiko-kimia. 6. Kesimpulan Dari pembahasan yang sudah dilakukan di atas, didapat bahwa pengelolaan secara anaerob memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode lainnya. Selain itu , metode ini juga membutuhkan biaya yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan metode lainnya. Namun kelemahan metode ini, adalah tidak mampu untuk mengolah kandungan air limbah yang berupa lemak dan minyak dan effluent yang dihasilkan perlu dilakukan pengolahan lebih lanjut. Dana juga belum ada metode yang mampu meghilangkan scara 100% kandungan bahan organik yang ada di dalam air limbah. Namun, pengolahan secara aerob juga menjanjikan terutama dengna menggunakan SBR dikarenakan dapat menghasilkan efisiensi penghilangan nutrient dan bahan organik yang tinggi. Untuk mendapatkan efisiensi yang lebih tinggi, dapat menggunakan metode hibrida, dengan menggabungkan penggunaan membrane, metode pengolahan secara bioligis aerob dan anaerob, dan pengolahan secara fisiko kimia. Dengan metode hibrida, batasan-batasan masing-masing metode dapat diminimalisir. Daftar Notasi BOD — Biological Oxygen Demand mg/L COD — Chemical Oxygen Demand mg/L TCD — Tones Crushed per Day TS — Total Solids TKN — Total Kjeldahl Nitrogen mg/L AFR — Anaerobic Fixed-Bed Reactors UASB — Up-Flow Anaerobic Sludge Blanket HRT — Hydraulic Retention Time OLR — Organic Loading Rate UAFB — Up Flow Anaerobic Fixed Bed TDS — Total Dissolved Solids VSS — Volatil Suspended Solids FCMR — Batch-Fed Continuously Mixed Anaerobic Reactor SBR — Sequential Batch Reactor TSS — Total Suspended Solids ASFF — Aerated Submerged Fixed-Film DS — Dissolved Solids SS — Suspended Solids NF — Nanofiltration RO — Reverse Osmosis MF — Microfiltration UF — Ultrafiltration EC — Electro-Chemical EO — Electro-Oxidation TP — Total Phosphorous 10 Daftar Pustaka References Anonim, Jatim Siapkan Pabrik Gula Baru Menuju Swasembada Gula 2014, Available diakses pada tanggal 20 Oktober 2016 pukul Manning, Elaine. Wastewater Disposal at Sugar Factories. A Status Report. Sugar Industri Research [1] Anonim. Makalah Proses Pembuatan Gula. Available diakses pada tanggal 20 Oktober 2016 pukul [2] Tantuayo, Raditya. Flow sheet atau Proses Pengolahan Gula PG Tersana Baru. Available diakses pada tanggal 20 Oktober 2016 pukul [3] Jensen, C. and Schumann, G. 2001. Implementing a zero effluent philosophy at a cane sugar factory. Proceedings of International Society of Sugarcane Technologists, 24 74-79. [4] R. Pastor, L. Abreu, A. Espufia, L. Puigjaner, Minimization of water consumption and wastewater discharge in the sugar cane industri, Eur. Symp. Comput. Aided Process Eng. 10 2000 907–912. [5] Gunjal, Baban, and Gunjal, Aparna. Water Conservation in Sugar Industri. Nature Environment and Pollution Technology, 12 325-330. 2013 [6] World Bank, Pollution Prevention and Abatement Handbook, Sugar Manufacturing, The World Bank, Washington, DC, 1997 [7] E. Alkaya, Demirer, Anaerobic acidification of sugar-beet processing wastes Effect of operational parameters, Biomass Bioenergi 35 2011 32–39. [8] Hampannavar, Shivayogimath, Anaerobic treatment of sugar industri wastewater by upflow anaerobic sludge blanket reactor at ambient temperatur, Int. J. Environ. Sci. 1 4 2010 631–639. [9] M. Khan, U. Kalsoom, T. Mahmood, M. Riaz, Khan, Characterization and treatment of industrial effluent from sugar industri, J. Chem. Soc. Pak. 253 2003 242–247. [10] Cakira, Stenstromb, Greenhouse gas production A comparison between aerobic and anaerobic wastewater treatment technology, Water Res. 39 2005 4197–4203. [11] A. Wheatley, Anaerobic Digestion A Waste Treatment Technology, Elsevier Applied Science, London, 1990. [12] Kushwaha, Srivastava, Mall, Treatment of dairy wastewater by inorganic coagulants Parametric and disposal studies, Water Res. 4420 2010 5867–5874. [13] Sanchez, L. Travieso, Anaerobic treatment of sugar-mill wastewater in downflow fixed-bed reactors, Bioresour. Technol. 48 1994 179–181. [14] Doke, Khan, J. Rapolu, A. Shaikh, Physico-chemical analysis of sugar industri effluent and its effect on seed germination of Vigna angularis, Vigna cylindrical and Sorghum cernum, Ann. Environ. Sci. 5 2011 7–11. [15] F. Merhdad, B. Mehdi, U. Valentina V., Treatment of beet sugar wastewater by UAFB bioprocess. Bioresource technology 98 2007 3080-3083. [16] Peixoto, G., Saacvedra Varesche Zaiat M., Hydrogen production from soft-drink wastewater in an upflow anaerobic packed-bed reactor. International journal of hydrogen energi 36 2011 8953-8966 [17] Fang HHP, Li YY, and Chui HK, 1995. UASB Treatment of Wastewater with Concentrated Mixed VFA. Journal of Environmental Engineering, Vol. 121 2 153-160. [18] Nacheva, Chavez, Chacon, Chuil, Treatment of cane sugar mill wastewater in an upflow anaerobic sludge bed reactor, Water Sci. Technol. 605 2009 1347–1352. [19] Hampannavar, Shivayogimath, Anaerobic treatment of sugar industri wastewater by upflow anaerobic sludge blanket reactor at ambient temperatur, Int. J. Environ. Sci. 1 4 2010 631–639 [20] Anonim. UASB – Upflow Anaerobic Slude Blanet Process /Reactors. Available diakses pada tanggal 24 Oktober 2016 pukul [21] E. Alkaya, Demirer, Anaerobic mesophilic co-digestion of sugar-beet processing wastewater and beet-pulp in batch reactors, Renew. Energi 36 2011 971–975. [22] E. Alkaya, Demirer, Anaerobic-fed and sequencing batch treatment of sugar-beet processing wastes A comparative study, Water Environ. Res. 833 2011 247–255. [23] Samaraweera, McGillivray, Rheault, Microbial issues encountered in wastewater treatment at Moorhead sugar factory and remedial measures, Zuckerindustrie 1347 2009 476–485 [24] E. Alkaya, Demirer, Anaerobic acidification of sugar-beet processing wastes Effect of operational parameters, Biomass Bioenergi 35 2011 32–39. [25] C. Nicolella, Van Loosdrecht, Hejnen, Wastewater treatment with particulate biofilm reactors, J. Biotechnol. 80 2000 1–33 [26] Jo¨rdening, K. Buchholz, High-rate anaerobic wastewater treatment, in Jo¨rdening, J. Winter, Eds., Environmental Biotechnology, Wiley-VCH, Weinheim, 2005, pp. 135–162 [27] Jo¨rdening, K. Hausmann, B. Demuth, M. Zastrutzki, Use of immobilised bacteria for the 11 wastewater treatment—Examples from the sugar industri, Water Sci. Technol. 533 2006 9–15 [28] F. Carta-Escobar, J. Pereda-Marin, P. Alvarez-Mateos, F. Romero-Guzman, Duran-Barrantes, F. Barriga-Mateos, Aerobic purification of dairy wastewater in continuous regime. Part I Analysis of the biodegradation process in two reactor configurations, Biochem. Eng. J. 21 2004 183–191. [29] K. Hanaki, T. Matsuo, M. Nagase, Mechanism of inhibition caused by long-chain fatty acids in anaerobic digestion process, Biotechnol. Bioeng. 23 1981 1591–1610. [30] S. Ahmad, Mahmoud, Wastewater from a sugar refining industri, Water Res. 16 1982 345–355 [31] F. Tucˇek, J. Chudoba, V. Madeˇra, Unified basis for design of biological aerobic treatment processes, Water Res. 5 1971 647–680. [32] C. Nahle, Biological purification of sugar factory wastewater beet and cane, In Van der Poel, H. Schiweck, T. Schwartz Eds, Sugar Technology Beet and Cane Sugar Manufacture, Verlag Dr, Albert Bartens, KG, Berlin, pp. 1008–1018, 1998. [33] Hamoda, Al-Sharekh, Sugar wastewater treatment with aerated fixed-film biological systems, Water Sci. Technol. 40 1999 313–321. [34] Aryanti, P. T. P., Yustiana, R., Purnama, R. E. D., & Wenten, I. G. 2015. Performance and characterization of PEG400 modified PVC ultrafiltration membrane. Membrane Water Treatment, 65 379-392 [35] Himma, N. F., Wardani, A. K., & Wenten, I. G. 2017. Preparation of Superhydrophobic Polypropylene Membrane Using Dip-Coating Method The Effects of Solution and Process Parameters. Polymer-Plastics Technology and Engineering, 562, 184-194. [36] Yang, Chang, Whalen, Anaerobic/aerobic pre-treatment of sugarcane mill wastewater for application of drip irrigation, Water Sci. Technol. 299 1991 243–250 [37] Kushwaha, Srivastava, Mall, An overview of various technologies for the treatment of dairy wastewaters, Crit. Rev. Food Sci. 5105 2011 442–452. [38] Khoiruddin, Ariono, D., Subagjo, & Wenten, 2017. Surface modification of ion-exchange membranes Methods, characteristics, and performance. Journal of Applied Polymer Science. DOI [39] Wenten, I. G., Khoiruddin, K., Hakim, A. N., & Himma, N. F. 2017. The Bubble Gas Transport Method. Membrane Characterization, 199. [40] Sianipar, M., Kim, S. H., Iskandar, F., & Wenten, I. G. 2017. Functionalized carbon nanotube CNT membrane progress and challenges. RSC Advances, 781, 51175-51198 [41] M. Khan, U. Kalsoom, T. Mahmood, M. Riaz, Khan, Characterization and treatment of industrial effluent from sugar industri, J. Chem. Soc. Pak. 253 2003 242–247. [42] Parande, Sivashanmugam, H. Beulah, N. Palaniswamy, Performance evaluation of low cost adsorbents in reduction of COD in sugar industrial effluent, J. Hazard. Mater. 1682–3 2009 800–805. [43] Chen, Guohua. Electrochemical technologies in wastewater treatment. Separation and purification technology 38 2004 11-41. [44] Raju, Khangaonkar, Electroflotation—A Critical Review, Trans. Indian Inst. Met. 37 1 1984 59–66. [45] Aryanti, P. T. P., Sianipar, M., Zunita, M., & Wenten, I. G. 2017. Modified membrane with antibacterial properties. Membrane Water Treatment, 85, 463-481 [46] Aryanti, P. T. P., Joscarita, S. R., Wardani, A. K., Subagjo, S., Ariono, D., & Wenten, I. G. 2016. The Influence of PEG400 and Acetone on Polysulfone Membrane Morphology and Fouling Behaviour. Journal of Engineering and Technological Sciences, 482, 135-149. [47] Capunitan, Alfafara, Migo, Movillon, Dizon, M. Matsumura, Decolorization and chemical oxygen demand COD reduction of sugar refinery spent ionexchange- process SIEP effluent by electrochemical treatment methods, Philippine Agric. Sci. 914 2008 416–425. [48] G. Guven, A. Perendeci, A. Tanyolac, Electrochemical treatment of simulated beet sugar factory wastewater, Chem. Eng. J. 151 2009 149–159. [49] Sunitha M., Rafeeq, Sugar Industri Wasterwater treatment Using Adsorption. Ir. Of Industrial Pollution Control 25 2 2009 pp 109-112 [50] C. Nahle, Purification of wastewater in sugar factories—Anaerobic and aerobic treatment, N-elimination, Zuckerindustrie 115 1990 27–32. [51] T. Ramjeawon, Cleaner production in Mauritian cane-sugar factories, J. Cleaner Prod. 8 2000 503–510. Mimien Henie Irawati Al MuhdharMurni Sapta SariDwi Pipit IndriyantiMuhammad Shalahuddin RahmansyahThe research which had been conducted in March–June 2019 had the purpose of determining the effect of water spinach Ipomoea aquatica on BOD and COD levels in Krebet Sugar Mill wastewater with phytoremediation technique. The research used the posttest-only control group design. Liquid waste experiments were taken at three points on the waste stream using water spinach Ipomoea aquatica with three repetitions. Data analysis using statistical description by comparing each data obtained from the treatments with controls. The results of the study showed that the Krebet Sugar Mill wastewater treatment using water spinach plants phytoremediation technique was able to reduce BOD parameters by mg/L at the first point; mg/L at the second point; and mg/L at the third point; while COD parameters was mg/L at the first point; mg/L at the second point; and mg/L at the third point. The conclusion of this research is the phytoremediation technique using water spinach plants influential can reduce the levels of BOD and COD in liquid role of carbon nanotube CNT as filler in a membrane matrix became popular recently. CNT is believed to solve the trade-off issue between permeability and selectivity, and also fouling problems in membrane filtration applications. Their fullerene form is a key point to provide a higher pore size on membrane surface as well as empty space called porosity in membrane structures. However, the hydrophobicity characteristic of CNT has made it difficult to distribute and it tends to agglomerate with each other which leads to a decrease in the dispersion ability in a solvent and, in the same way, a decline in the compatibility of a membrane structure. Functionalization of CNT is expected to solve those problems. Moreover, membrane hydrophilicity, which is provided by the existence of hydrophilic functionalized CNT, is aimed to achieve the anti trade-off between permeability and selectivity based on a electrostatic repulsion concept. By an electrostatic repulsion process, a pollutant will be repelled from attaching to a membrane surface while water will be strongly attracted and be transported through the membrane. Therefore, various approaches have been investigated to functionalize CNT for achieving a high dispersion of CNT as well as high compatibility between CNT and a polymer matrix which lead to improvement of modified membrane properties and performances. This paper reviews the progress of CNT functionalization applied in membrane filtration during the years 2006 up to 2016. The influence of functionalized CNT in improving membrane properties as well as membrane performances is specifically of polysulfone ultrafiltration membrane was conducted by blending polysulfone with PEG400 and acetone as additives. The influence of each additive on the resulted membrane morphology and fouling characteristics were investigated. The experimental results showed that the hydrophilicity of the polysulfone membrane was improved by the increase of PEG400 in the polysulfone membrane. The water contact angle of the membrane was decreased from to when 35 %wt of PEG400 was added into the polysulfone solution, while the water content of the membrane was increased by around 38%. The high concentration of PEG400 in the polysulfone solution led to the formation of longer finger-like cavities in the membrane structure and resulted in a thicker membrane skin layer. The high concentration of PEG400 also contributed to the increase in hydraulic resistance of the membrane due to organic matter fouling. This problem could be minimized by the addition of acetone into the polysulfone solution, which resulted in a lower fouling resistance of organic matter during up to five hours of peat water filtration. Ping-Yi YangL. J. ChangS. A. WhalenBecause of inappropriate management of sugarcane mill wastewater in Hawaii, odor problems and handicaps to wastewater reuse for drip irrigation and sugarcane washing have developed. Based on the previous work on wastewater characterization and relevant literature review, a combined anaerobic UASB and aerobic EAFB treatment of supernatant of settled sugarcane mill wastewater for the application of drip irrigation was proposed and investigated. It has been found that the system can efficiently ≥ 99% remove the organics and solids in wastewater within two days of hydraulic retention time provided. The treated effluent provides better water quality for application of drip irrigation. The alternatives UASB + EAFB and UASB + AL were compared based on the net present worth NPW. It has been found that the combined treatment alternative UASB + EAFB for the application of drip irrigation is more cost effective than the alternative of UASB + AL. Thus, combined UASB + EAFB treatment for sugarcane mill wastewater provides not only for the removal of pollution potential, but also for the reuse of the properly treated wastewater for drip irrigation in the land-limited and populated areas. Mohamed HamodaHamed A. Al-SharekhWastewater effluents from the sugar industry contain high concentrations of organic materials which are sometimes discharged into the municipal wastewater collection system and processed in wastewater treatment plants along with domestic wastewater. This study examined the performance of a four-compartment, fixed-film system in which the biofilm is attached to submerged ceramic tiles under diffused aeration, known as the aerated submerged fixed-film ASFF process. Field experiments were conducted using four ASFF units each of about 100 1 capacity operated at different hydraulic loading rates to provide hydraulic residence time HRT of 2, 4, 6 and 8 hours. Process performance was evaluated under both normal operation with domestic wastewater and under pulse and prolonged organic shock loads with sugar wastewater. The influent and effluent of the process was analyzed for solids, BOD, COD, and nitrogen forms to determine both carbonaceous and nitrogenous substrate removal. The ASFF process was found to be able to handle continuous severe organic loads increasing from about 5 to 120 g BOD/ with slight decrease in organic removal efficiency from to for BOD and from to for COD. Nitrification was similarly decreased but at higher rates. The system was also able to cope with pulse injection of sugar wastewater and recovery to normal steady-state COD values was achieved in 10 hours for the 200 g COD/l spikes. An increase in the organic loading rate was accompanied by an increase in biofilm specific oxygen uptake rate until reaching a maximum which determines the optimum loading rate for process operation. Substrate removal rates were evaluated for process have been considered as a major foulant that initiates the formation of biofilm on the polymeric membrane surface. Some polymeric membranes are naturally antibacterial and have low fouling properties, however, numerous efforts have been devoted to improve their antibacterial performance. These modifications are mostly carried out through blending the membrane with an antibacterial agent or introducing the antibacterial agent on the membrane surface by chemical grafting. Currently, a significant number of researches have reported nanocomposite membrane as a new approach to fabricate an excellent antibacterial membrane. The antibacterial nanoparticles are dispersed homogenously in membrane structure by blending method or coating onto the membrane surface. Aim of the modifications is to prevent the initial attachment of bacteria to membrane surface and kill bacteria when attached on the membrane surface. In this paper, several studies on antibacterial modified membranes, particularly for water treatment, will be reviewed comprehensively. Special attention will be given on polymeric membrane modifications by introducing antibacterial agents through different methods, such as blending, grafting, and effort has been made to improve ion-exchange membrane IEM properties in order to achieve better performance of IEM-based processes in various applications. Surface modification is one of the effective ways to improve IEM properties. Various methods have been used to modify IEM surfaces, for example, plasma treatment, polymerization, solution casting, electrodeposition, and ion implantation. These methods are able to produce a thin and fine distributed layer and also to modify the chemical structure of the surface. The new layer can be adsorbed, deposited, or chemically bonded on a membrane surface. By using these methods, IEM properties are improved, and the desired or specific characteristics such as high monovalent ion permselectivity, low fuel crossover, and anti-organic-fouling property can be obtained. In this paper, methods for surface modification of IEMs are reviewed. Moreover, the effects of modification on IEM properties and performance are discussed. © 2017 Wiley Periodicals, Inc. J. Appl. Polym. Sci. 2017, 134, Y. Cakir Michael Knudson StenstromAnaerobic wastewater treatment offers improved energy conservation with potential reduction in greenhouse gas emissions. Pitfalls exist in that the methane produced in anaerobic treatment can offset any reductions in carbon dioxide emissions, if it is released to the environment. This paper analyzes greenhouse gas emissions from both aerobic and anaerobic treatment systems, including sludge digestion and the losses of dissolved methane in digested biosolids and process effluents. There exists cross over points, ranging from 300 to 700 mg/L influent wastewater BODu, which are functions of the efficiency of the aerobic treatment system. Anaerobic treatment becomes favorable when treating influents higher in concentrations than the cross over values. A technology to recover dissolved methane would make anaerobic treatment favorable at nearly all influent polypropylene hollow fiber membranes were prepared through two-step dip-coating process. The effects of solution and process parameters were investigated. It was found that polymer solution concentration and temperature were crucial parameters to obtain homogeneous coating. High hydrophobicity could be achieved by controlling the polymer solution concentration and drying temperature. Using methyl ethyl ketone as nonsolvent, the membrane surface roughness was increased, resulting in superhydrophobicity with high contact angle of The modified membrane still exhibited lower flux than unmodified membrane in water–oil separation due to porosity decrease. However, their water rejections were RafeeqActivated charcoal, bentonite and lignite have been used as adsorbents for the treatment of sugar industry wastewaters. Bentonite and lignite are more economical as compared to activated charcoal and have been found to be effective in removal of pollutional constituents from the waste.

pengolahan bahan bahan di pabrik yang besar digunakan teknologi